Aryati (17) menggendong putranya, Ubaidillah, yang baru berusia sebulan sembari duduk di bangku kayu di depan hunian sementara di Desa Sukaraksa, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Minggu (2/6).
Hunian sementara itu berukuran 4 meter x 6 meter. Lantai rumah disemen, dindingnya anyaman bambu. Kerangka rumah terbuat dari kayu sekadarnya.
Rumah itu pun tak tunggal. Bentuknya seperti roti tawar panjang yang disekat menjadi beberapa rumah. Dalam satu deret ada empat-lima rumah dengan ukuran seragam. Ruang tamu, kamar tidur, dan dapur menjadi satu.
Untuk buang hajat dan mandi, ada empat kakus komunal. Padahal, di lokasi itu ada 41 rumah yang dihuni lebih dari 200 warga korban tanah longsor di Kampung Sirnagalih, Desa Sukaraksa. Mereka meninggalkan kampung yang berada di
Hunian sementara yang berjarak sekitar 600 meter dari kampung mereka itu didesain sebagai rumah darurat yang lebih memadai ketimbang tinggal di tenda.
Awalnya, hunian sementara itu didesain untuk dihuni enam bulan. Akan tetapi, hingga 16 bulan berlalu, warga masih menempatinya. Keluhan warga pun seragam, genting bocor, penyangga atap mulai miring, pintu rusak, dan dinding bambu yang bolong-bolong.
”Setiap hujan pasti bocor,” tutur Aryati, yang berharap bisa segera pindah ke rumah permanen yang dijanjikan Pemerintah Kabupaten Bogor sejak awal 2012.
Nani (30), penghuni lainnya, mengeluhkan soal minimnya fasilitas air bersih. ”Kadang bisa mandi sehari dua kali, kadang enggak,” tuturnya.
Menurut Udin (44), Ketua RT 003 RW 005, Kampung Sirnagalih, warganya sudah lama menanti realisasi hunian permanen dari Pemkab Bogor. Sejak Desember 2011 warganya mengungsi, dia belum mendengar lagi ada kelanjutan hunian permanen dari Pemkab Bogor.