Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DBD Urusan Kita Semua

Kompas.com - 15/06/2013, 03:41 WIB

Dengue is everybody business adalah slogan yang diluncurkan ketika Indonesia menjadi pelopor peringatan Hari Dengue ASEAN pada 15 Juni 2011. ”Deklarasi Jakarta melawan DBD” disepakati 11 negara ASEAN yang hadir saat itu. Inti dari kesepakatan itu, demam berdarah dengue termasuk salah satu penyakit menular prioritas.

Untuk itu, dirasakan perlunya meningkatkan kerja sama regional, kapasitas pengendalian vektor, mutu penatalaksanaan kasus dan diagnosis dini kasus DBD, serta meningkatkan sosialisasi dan kerja sama lintas sektor.

Dokumen ini menjadi tonggak sejarah karena tahun berikutnya Hari Dengue ASEAN (ASEAN Dengue Day/ADD) dilaksanakan di Myanmar dan menghasilkan Myanmar Call for Action yang isinya mendukung deklarasi Jakarta dan mengajak kita semua untuk terus berperang melawan DBD. Tahun ini, ADD diadakan di Vietnam.

Pada 15 Juni 2011, juga dilakukan dialog nasional dan menghasilkan komitmen terhadap pengendalian DBD yang dihadiri 33 gubernur dan 20 kepala daerah kabupaten/kota. Hasilnya, komitmen kepala daerah dalam pengendalian DBD untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, meningkatkan upaya promosi kesehatan tentang pencegahan DBD serta sistem surveilans, memberdayakan masyarakat secara aktif dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN), melakukan revitalisasi Kelompok Kerja Operasional DBD di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Demam berdarah saat ini dikenal dengan istilah infeksi dengue artinya terinfeksi oleh virus dengue yang bisa bermanifestasi sebagai demam dengue (DD) ataupun demam berdarah dengue (DBD) yang oleh awam sering disebut demam berdarah (DB).

Ada 4 serotipe (D1-D4) dan semua serotipe bersirkulasi di kota-kota besar di Indonesia. Dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk, utamanya Aedes aegypti, bisa juga Aedes albopictus yang menggigit pada pagi dan sore hari.

Nyamuk itu berkembang biak di tempat-tempat buatan manusia seperti vas, gentong, ember, ban bekas, dan barang bekas yang menampung air. Mereka hidup dekat dengan manusia karena perlu darah untuk mematangkan telurnya. Sambil mengisap darah, nyamuk memasukkan virus dengue ke tubuh manusia. Seminggu kemudian, manusia yang kemasukan virus menjadi sakit.

Gunung es

Seperti infeksi virus lain, infeksi dengue ini ibarat gunung es. Orang yang terinfeksi dan hanya memperlihatkan gejala ringan, seperti flu atau bahkan tanpa gejala merupakan bagian terbesar dan berada di bawah permukaan. Mereka yang memperlihatkan gejala DD dan DBD berada di permukaan dan kematian karena DBD merupakan puncak dari gunung es.

Data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus DBD pada tahun 2012 sebesar 70.000 kasus dan 70 orang di antaranya meninggal (tingkat kefatalan kasus/ CFR 1 persen). Para ahli memperkirakan kalau ditemukan ada 1 kasus DBD, berarti ada sekitar 200 kasus DD lain di masyarakat, bahkan 1.000 kasus lain dengan infeksi dengue yang asimptomatis.

Baru-baru ini dalam sidang World Health Assembly (WHA) ke-66 dipakati resolusi WHA yang memberi perhatian pada penyakit terabaikan seperti kaki gajah, kecacingan, lepra, frambusia termasuk DBD, dan rabies.

Mengapa terabaikan? Jawabannya, kegagalan kebijakan kesehatan masyarakat yang menyebabkan rendahnya prioritas untuk penanggulangannya, kegagalan dalam merencanakan alokasi sumber daya sehingga pengendalian penyakit tidak memadai, dan kegagalan dalam implementasi program yang tidak efektif.

Akibatnya, DBD tetap menjadi masalah. Bukan hanya masalah kesehatan, melainkan juga hilangnya waktu produktivitas bekerja, waktu sekolah, dan kehilangan secara ekonomi baik untuk keluarga maupun bagi pemerintah karena saat terjadi kejadian luar biasa (KLB), biaya yang dibutuhkan sangat besar.

Para ahli berusaha mencari terobosan. Berbagai inovasi untuk memutuskan mata rantai penularan telah dan sedang dicoba. Dari pandangan masyarakat, mereka ingin yang mudah tanpa harus susah payah.

Pengendalian vektor

Bila ada kasus DBD, masyarakat minta dilakukan penyemprotan. Namun, ternyata penyemprotan tidak menyelesaikan masalah, karena hanya membunuh nyamuk dewasa. Esok atau lusa tumbuh nyamuk-nyamuk baru dari larva/jentik nyamuk.

Karena itu, dibuat Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan dukungan kader-kader PKK dengan nama juru pemantau jentik (jumantik) bersama masyarakat. Kemudian, aplikasinya disesuaikan dengan daerah masing-masing.

Hasilnya, sejak tahun 2010, kasus DBD di Indonesia menurun. Permasalahan klasik timbul adalah kesinambungan dari pelbagai kegiatan yang dilakukan di tiap daerah.

Karena belum ada obat antivirus dengue, kegiatan pengendalian vektor nyamuk merupakan pilihan yang paling mungkin untuk memberantas DBD.

Kegiatan lain yang sedang dilaksanakan adalah kerja sama dengan para peneliti dan LSM. Misalnya, penelitian untuk mencari tempat perindukan yang paling potensial di Yogyakarta. Hasilnya, ternyata masih sama, yaitu bak mandi, ember, kaleng bekas, dan sumur.

Saat ini sedang dikembangkan penggunaan bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke tubuh nyamuk agar virus dengue tidak berkembang di tubuh nyamuk. Lebih jauh lagi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengembangkan nyamuk jantan mandul. Namun, kegiatan ini belum dapat diterapkan mengingat masyarakat malah diajak beternak larva nyamuk untuk kemudian dilakukan penyinaran di laboratorium kemudian nyamuk itu dilepas ke alam. Teknik lain adalah memandulkan telur.

Indonesia belum menerima teknik ini. Cukup asal masyarakat sadar dan rajin melakukan PSN, kita dapat mencegah DBD.

Hal yang sangat ditunggu adalah vaksin antidengue. Indonesia bersama negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura melakukan uji coba vaksin dengue. Diharapkan, 2-3 tahun ke depan vaksin dengue sudah bisa digunakan untuk melindungi masyarakat. Tapi, bukan berarti PSN ditinggalkan.

Penelitian tentang obat antivirus dengue yang berasal dari tanaman herbal banyak dilakukan. Namun, belum ada yang dipatenkan. Sampai saat ini, masih terus dilakukan percobaan oleh para ahli di sejumlah universitas. Penelitian mencari vaksin juga sedang dilakukan di dunia.

Pencegahan dan penanggulangan DBD makin sulit. Selain dari segi teknis dan program, tantangan besar yang kita hadapi adalah pertambahan penduduk, globalisasi yang menyebabkan pergerakan manusia dari satu kota/negara ke kota/ negara lain, pertumbuhan kota yang tidak terencana baik, resistensi terhadap insektisida dan perubahan iklim dunia.

Namun, DBD adalah masalah kita bersama. Oleh karena itu, kita semua harus bertanggung jawab mencegahnya.

Rita Kusriastuti Penanggung Jawab Program DBD di Kemenkes, Saat Ini Bekerja di WHO-SEARO

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com