Bagi Suryanto dan keluarganya, Lebaran berarti menahan diri dari pulang kampung. Selepas shalat Idul Fitri, ia akan bermaaf-maafan dengan anak dan istrinya; lalu silaturahim dengan tetangga rumahnya di Teluk Naga, Kabupaten Tangerang; setelah itu, kembali mengojek di Bandara Soekarno-Hatta.
Memaknai Lebaran
Seperti Suryanto, Akbar (38), petugas keamanan di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, juga mempunyai keluarga di Bogor. Meski demikian, ia tidak bisa merayakan Lebaran bersama keluarga. Ia harus bertugas di Stasiun Gambir hingga tujuh hari setelah Lebaran.
”Kerja adalah ibadah. Itulah cara saya memaknai Lebaran dalam situasi saya sebagai petugas keamanan,” ujar Akbar.
Begitulah sekilas potret kehidupan di sebagian kalangan masyarakat bawah. Bagi mereka, mudik dan ber-Lebaran di kampung halaman adalah sebuah kemewahan. Satu-satunya penanda mereka sudah ber-Lebaran adalah shalat Idul Fitri.
”Kami masih bisa shalat hingga Lebaran tahun ini saja harus disyukuri,” ujar Niam (52), pedagang asongan di sekitar Monas, yang tak mudik ke Surabaya, Jawa Timur, karena tak mampu membeli tiket bus.
Padahal, menurut Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komarudin Hidayat, puncak Lebaran bagi masyarakat Muslim adalah shalat Idul Fitri serta bersilaturahim sesama mereka (keluarga, sanak famili, dan tetangga).
”Saling memaafkan dan merayakan lega rasanya berhasil puasa sebulan. Jadi, pada dasarnya Lebaran perayaan yang merakyat, sederhana,” tuturnya lewat pesan singkat.
Bagi masyarakat urban, kebutuhan utama untuk bisa pulang mudik dengan lancar dan aman adalah sebuah kemewahan. Jika bisa dipenuhi, lengkap sudah perayaan Lebaran.
Jika tidak, ya seperti yang dialami kaum pinggiran, seperti Andi Rusmana, Suryanto, Akbar, Niam, dan warga yang senasib. (AHA/RWN/WER/K06/K13)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.