Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sawah Mengering di Serang, Hidup Kian Sulit

Kompas.com - 14/10/2013, 19:59 WIB
SERANG, KOMPAS.com- Wajah Sofyan (60) lesu. Uang jutaan rupiah yang ia impikan kini benar-benar hanya khayalan. Sawahnya gagal panen akibat kekeringan berkepanjangan. Biaya serba tinggi semakin menyulitkan hidupnya bersama keluarga.

Sofyan merupakan warga Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten. Beberapa saat sebelum puasa lalu, ia menanam padi di atas sawah seluas satu hektar. Modal yang ia keluarkan Rp 4 juta dan semestinya, bila panen sukses, dia dapat meraih keuntungan Rp 2 juta.

Sofyan mengaku, ketika menanam padi beberapa bulan lalu, sawahnya masih berair. Ia memperkirakan, sawahnya masih bisa berair hingga Oktober atau November. Ia berharap ada hujan. Namun, air dari langit hanya datang sesekali sepanjang periode tanam Juli-November. Sawah Sofyan pun kering dan padinya mati. Alih-alih untung, nasibnya justru buntung.

"Rugi Rp 4 juta deh saya sekarang," kata Sofyan, Senin (14/10/2013).

Siang tadi, Sofyan hanya duduk-duduk bersama rekan-rekannya di pinggir jalan. Pandangannya kosong menatap sawah dan padinya yang mati.

Desa Lontar di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, merupakan salah satu desa yang diduga menjadi korban korupsi saluran irigasi. Selain Desa Lontar, dua desa lain di Kecamatan Tirtayasa tak dapat menikmati air dari saluran irigasi. Pembangunan saluran irigasi beberapa tahun lalu tidak sampai ke Desa Lontar.

Hanya desa dan kecamatan di seberang Desa Lontar yang kebagian pembangunan saluran irigasi. Maka, ketika desa seberang berhenti mengandalkan hujan, Desa Lontar masih tetap jadi sawah tadah hujan. Padahal, air di Sungai Grujugan melintasi desa seberang.

"Asal Pemprov Banten mau menyodet kali itu dan membuat penampungan air di ujung desa ini, pasti kami tak perlu lagi hujan," kata Sofyan.

Kini, Sofyan cuma bisa iri melihat desa tetangga panen padi setahun tiga kali. Setiap tahun, Sofyan hanya bisa satu kali panen. Dua kali masa tanam berikutnya, dia lebih sering gigit jari alias gagal panen. Langkahnya serba salah. Kalau tidak ikut menanam padi, bisa jadi sawah tetap berair dan bisa panen. Namun, jika nekat menanam, maka bukan tidak mungkin sawah menjadi kering. Itulah yang terjadi padanya saat ini.

Buang (45), warga Desa Lontar, mengalami hal yang sama. Bukan hanya gagal panen, ia juga sedih karena kekeringan menyebabkan biaya hidup di desa itu menjadi serba mahal.

Menurut Buang, di desanya yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Serang, air sumurnya berupa air payau. Setiap hari ia harus membeli air bersih. Pagi-pagi saat bangun tidur, Buang sudah harus merogoh kocek dan mengeluarkan uang Rp 10.000 untuk enam jeriken air bersih. Air itu dipakai untuk membasuh tubuh. Air payau tetap digunakan untuk mandi.

Belum lagi biaya makan dan membeli air untuk minum. Dalam sehari, Buang bisa mengeluarkan uang Rp 20.000 untuk kebutuhan dasar. Padahal, penghasilannya sebagai nelayan hanya sekitar Rp 30.000 per hari.

"Sebenarnya kalau padi tak gagal panen, saya bisa lebih bebas mengatur uang. Ini gagal panen sih," kata Buang. Kini Buang hanya bisa pasrah menatap sawah di dekatnya. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Juru Parkir Liar di JIS Bikin Resah Masyarakat, Polisi Siap Menindak

Juru Parkir Liar di JIS Bikin Resah Masyarakat, Polisi Siap Menindak

Megapolitan
Pegi Perong Bakal Ajukan Praperadilan Atas Penetapannya sebagai Tersangka di Kasus Vina Cirebon

Pegi Perong Bakal Ajukan Praperadilan Atas Penetapannya sebagai Tersangka di Kasus Vina Cirebon

Megapolitan
Viral Tukang Ayam Goreng di Jakbar Diperas dengan Modus Tukar Uang Receh, Polisi Cek TKP

Viral Tukang Ayam Goreng di Jakbar Diperas dengan Modus Tukar Uang Receh, Polisi Cek TKP

Megapolitan
Peremajaan IPA Buaran Berlangsung, Pelanggan Diimbau Tampung Air untuk Antisipasi

Peremajaan IPA Buaran Berlangsung, Pelanggan Diimbau Tampung Air untuk Antisipasi

Megapolitan
Jaksel Peringkat Ke-2 Kota dengan SDM Paling Maju, Wali Kota: Ini Keberhasilan Warga

Jaksel Peringkat Ke-2 Kota dengan SDM Paling Maju, Wali Kota: Ini Keberhasilan Warga

Megapolitan
Gara-gara Mayat Dalam Toren, Sutrisno Tak Bisa Tidur 2 Hari dan Kini Mengungsi di Rumah Mertua

Gara-gara Mayat Dalam Toren, Sutrisno Tak Bisa Tidur 2 Hari dan Kini Mengungsi di Rumah Mertua

Megapolitan
Imbas Penemuan Mayat Dalam Toren, Keluarga Sutrisno Langsung Ganti Pipa dan Bak Mandi

Imbas Penemuan Mayat Dalam Toren, Keluarga Sutrisno Langsung Ganti Pipa dan Bak Mandi

Megapolitan
3 Pemuda di Jakut Curi Spion Mobil Fortuner dan Land Cruiser, Nekat Masuk Halaman Rumah Warga

3 Pemuda di Jakut Curi Spion Mobil Fortuner dan Land Cruiser, Nekat Masuk Halaman Rumah Warga

Megapolitan
Seorang Wanita Kecopetan di Bus Transjakarta Arah Palmerah, Ponsel Senilai Rp 19 Juta Raib

Seorang Wanita Kecopetan di Bus Transjakarta Arah Palmerah, Ponsel Senilai Rp 19 Juta Raib

Megapolitan
3 Pemuda Maling Spion Mobil di 9 Titik Jakut, Hasilnya untuk Kebutuhan Harian dan Narkoba

3 Pemuda Maling Spion Mobil di 9 Titik Jakut, Hasilnya untuk Kebutuhan Harian dan Narkoba

Megapolitan
Melawan Saat Ditangkap, Tiga Pencuri Spion Mobil di Jakarta Utara Ditembak Polisi

Melawan Saat Ditangkap, Tiga Pencuri Spion Mobil di Jakarta Utara Ditembak Polisi

Megapolitan
Terungkapnya Bisnis Video Porno Anak di Telegram: Pelaku Jual Ribuan Konten dan Untung Ratusan Juta Rupiah

Terungkapnya Bisnis Video Porno Anak di Telegram: Pelaku Jual Ribuan Konten dan Untung Ratusan Juta Rupiah

Megapolitan
Rugi Hampir Rp 3 Miliar karena Dugaan Penipuan, Pria di Jaktim Kehilangan Rumah dan Kendaraan

Rugi Hampir Rp 3 Miliar karena Dugaan Penipuan, Pria di Jaktim Kehilangan Rumah dan Kendaraan

Megapolitan
Geramnya Ketua RW di Cilincing, Usir Paksa 'Debt Collector' yang Berkali-kali 'Mangkal' di Wilayahnya

Geramnya Ketua RW di Cilincing, Usir Paksa "Debt Collector" yang Berkali-kali "Mangkal" di Wilayahnya

Megapolitan
Mulai 1 Juni 2024, Ada Ketentuan Baru Pembatalan Tiket Kereta Api

Mulai 1 Juni 2024, Ada Ketentuan Baru Pembatalan Tiket Kereta Api

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com