Adapun pola pengangkutan sampah yang selama ini dilakukan masih mengandalkan cara manual. Sampah dari saluran air diangkut truk kemudian dikumpulkan di tempat penampungan sementara yang tersebar di Kali Angke, Pluit, Pintu Air Manggarai, dan Kali Sunter Jalan Perintis Kemerdekaan.
Di sejumlah ruas aliran air, masih ada sampah yang belum terangkut. Penyebabnya adalah belum padunya kerja sama antarlembaga pemangku kepentingan tentang penanganan banjir. Di Kali Baru, Jakarta Timur, misalnya, sampah masih menumpuk tepatnya di sekitar saringan air tidak jauh dari Pusat Grosir Cililitan (PGC).
Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta Joko Susetyo berpendapat, pembersihan sampah di tempat itu bukan tanggung jawabnya, melainkan tanggung jawab dinas kebersihan.
”Sejak 1 April kewenangan penanganan kebersihan di saluran itu menjadi tanggung jawab dinas kebersihan,” kata Joko.
Sementara Kepala Dinas Kebersihan Unu Nurdin mengaku, penanganan sampah di saringan itu bukan tanggung jawabnya. Sebab, sarana itu belum diserahkan kepada dinas kebersihan.
Terkait kebersihan di saluran, pekan lalu, Gubernur Joko Widodo meminta lurah dan camat menggerakkan warganya menjaga saluran yang dibersihkan. Kebersihan saluran air sepenuhnya bergantung pada peran warga. ”Tanpa peran warga, lupakan saluran bersih dari sampah,” kata Jokowi.
”Kami jelas tidak bisa memaksa mereka untuk terus berbicara secara intens. Zaman otonomi daerah, kan, tergantung maunya wali kota atau bupati. Mungkin harus ada otoritas khusus juga seperti transportasi,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Menurut Basuki, koordinasi antardaerah dalam menanggulangi banjir tidak cukup sekadar menggelar pertemuan dan pembicaraan tanpa aksi nyata para kepala daerah.
Dia mencontohkan, di Depok banyak daerah yang kontur tanahnya rendah di tepi Kali Ciliwung. Kawasan itu seharusnya tidak boleh diuruk untuk hunian. Namun, yang terjadi banyak berdiri perumahan.
”Kami berharap Depok tidak memberikan izin pembangunan perumahan di daerah yang konturnya rendah karena pasti diuruk dan membuat air lari ke Jakarta. Namun, kami enggak bisa memaksa mereka,” ujarnya.
Hal yang sama juga terjadi di Jakarta. Basuki mengakui, daerah yang konturnya rendah justru banyak dibangun untuk perumahan. Upaya untuk merelokasi warga di daerah rawan banjir, terutama bantaran kali, sulit dilakukan dan sering berujung konflik.
”Jawaban mereka senada. Banjir hanya setahun sekali, yang penting tinggal dekat tempat kerja. Makanya, kami dorong terus relokasi ini agar normalisasi sungai bisa jalan,” katanya.
Saat ini yang paling bisa dilakukan adalah memastikan di pintu air tidak ada sampah, setidaknya Pintu Air Manggarai yang merupakan jalan air utama. Jika sampah sudah tersangkut di pintu air, pompa macet lagi. Sayangnya, sampah di sungai masih terlalu banyak dan tersangkut di pintu-pintu air.
Koordinator Komunitas Peduli Ciliwung Bogor Een Irawan Putra menilai persoalan Ciliwung sebenarnya klasik, tetapi tidak juga terselesaikan, yakni banjir, sampah, dan penyerobotan lahan bantaran. (FLO/BRO/MDN/MKN/FRO/WIN/PIN/JOS/NEL/HRS/ZAK/NDY)