Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

10 Tahun Jadi Guru Honorer, Mantan Atlet Ini Kesulitan Jadi PNS

Kompas.com - 06/09/2014, 17:30 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Dua tahun sudah Marzuki (46) berusaha agar bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Prestasinya sebagai atlet sepak bola juga tak dapat dijadikan modal menjadi PNS.

Mantan atlet sepak bola berprestasi ini sudah hampir 10 tahun menekuni karier sebagai guru olahraga di SD Negeri 3 Ciracas, Jakarta Timur. Selama itu dia hanya menjadi guru honorer dengan honor Rp 1 juta per bulan. Tambahan penghasilan hanya diperoleh dari kegiatannya sebagai pelatih di Sekolah Sepak Bola Gala Prima, Senayan, dengan honor Rp 800.000 per bulan.

Dengan honornya itu, mantan pemain serang (striker) di klub Barito Putra dan Bandung Raya ini membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Sang istri yang juga mantan atlet lempar lembing, Diah Rinatih (50), juga ikut membantu memenuhi kebutuhan keluarga lewat usaha katering kecil-kecilan dengan penghasilan rata-rata Rp 1 juta per bulan. Akan tetapi, usaha suami-istri ini hanya terbilang ”pas-pasan” untuk ukuran nafkah di Jakarta.

”Yang kami khawatirkan adalah masa depan anak-anak. Dengan status suami hanya guru honorer, kami tak akan punya cukup modal untuk membiayai anak kami ke jenjang pendidikan tinggi,” tutur Diah.

Dua dari lima anak pasangan suami istri ini sudah duduk di bangku kuliah. Namun, karena keterbatasan ekonomi keluarga, kedua anaknya membiayai kuliahnya sendiri dari bekerja paruh waktu.

”Anak pertama kami kuliah di Bali dan yang kedua kuliah di Jakarta. Keduanya kerja paruh waktu untuk membiayai kuliah mereka masing-masing,” kata Diah.

Kebutuhan memenuhi pendidikan anak-anaknya ini yang mendorong Diah berusaha mengurus peningkatan status suaminya dari guru honorer menjadi PNS. Sebab, masih ada tiga anaknya yang membutuhkan pendidikan lebih lanjut.

”Dua anak kami masih duduk di sekolah menengah kejuruan dan menengah pertama serta satu anak kami masih balita usia 4 tahun,” ujarnya.

Terhitung sejak 2013, kata Diah, dirinya mulai berusaha mengurus peningkatan pangkat suaminya menjadi PNS ke Badan Kepegawaian Daerah DKI.

Namun, sang suami tetap tak lolos seleksi jadi PNS karena dianggap belum bekerja sebagai guru honorer per 3 Januari 2005. Batas waktu yang ditetapkan BKD DKI itu hanya selisih bulan dengan masa pertama kerja Marzuki sebagai guru honorer pada pertengahan 2005.

Usaha kedua kali dilakoni Diah belum lama ini, tetapi dirinya tetap tak dapat memperoleh cara agar suaminya segera diangkat sebagai PNS.

”Suami saya tetap diminta untuk mengikuti tes PNS. Padahal, sudah sejak 2005 hingga 2014 sekarang ini suami saya mengabdi sebagai guru olahraga di SD Negeri 3 Ciracas,” tuturnya.

Marzuki mengungkapkan, sesungguhnya dia tulus menjadi guru olahraga di SD. Sebab, di dunia sepak bola Indonesia pun, dia tak menemukan keadilan.

Marzuki mengatakan, dia pernah diminta Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk menyeleksi calon atlet yang dikirim keluar negeri dengan menilai gaya tendangannya. Kontan, kata Marzuki, dia menolak tawaran itu.

”Tidak mungkin atlet hanya diseleksi dari caranya menendang bola. Atlet itu diseleksi setelah diadu dalam beberapa kompetisi. Setelah menang dalam beberapa kompetisi, barulah sang atlet bisa dianggap layak masuk tim,” ujarnya.

Berkaca pada diri sendiri, Marzuki menuturkan, dirinya bisa menjadi atlet sepak bola lewat seleksi Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) 1983. Sejak itu dia menjadi siswa atlet di Sekolah Ragunan selama SMP dan SMA.

Setelah latihan terus-menerus di Ragunan, dia menjadi tim yunior sepak bola yang hanya bertanding menghadapi kesebelasan luar negeri.

”Selama jadi atlet, saya tidak boleh main di Pekan Olahraga Nasional, tetapi hanya dibatasi bermain di luar negeri, seperti di Second Asian Youth U-16 Championship 1986 di Qatar,” tuturnya.

Marzuki hanya berharap agar manajemen sepak bola di Indonesia diperbaiki. Demikian pula nasib para atlet, juga turut diperhatikan. Jangan sampai ada atlet yang telantar karena para atlet telah berjuang keras membela nama negara di luar negeri.

Inilah potret kehidupan atlet yang kurang diperhatikan oleh negara. (MDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ragam Respons Jukir Liar Saat Ditertibkan, Ada yang Pasrah dan Mengaku Setor ke Ormas

Ragam Respons Jukir Liar Saat Ditertibkan, Ada yang Pasrah dan Mengaku Setor ke Ormas

Megapolitan
Siang Ini, Kondisi Lalu Lintas di Sekitar Pelabuhan Tanjung Priok Tak Lagi Macet

Siang Ini, Kondisi Lalu Lintas di Sekitar Pelabuhan Tanjung Priok Tak Lagi Macet

Megapolitan
Cara Lihat Live Tracking Bus Transjakarta di Google Maps

Cara Lihat Live Tracking Bus Transjakarta di Google Maps

Megapolitan
Larangan 'Study Tour' ke Luar Kota Berisiko Tinggi, Tuai Pro Kontra Orangtua Murid

Larangan "Study Tour" ke Luar Kota Berisiko Tinggi, Tuai Pro Kontra Orangtua Murid

Megapolitan
Dalam 5 Bulan, Polisi Sita 49,8 Kg Sabu dari 12 Tersangka

Dalam 5 Bulan, Polisi Sita 49,8 Kg Sabu dari 12 Tersangka

Megapolitan
Casis Bintara Jadi Korban Begal di Kebon Jeruk, Jari Kelingkingnya Nyaris Putus

Casis Bintara Jadi Korban Begal di Kebon Jeruk, Jari Kelingkingnya Nyaris Putus

Megapolitan
Keluarga Korban Kecelakaan Siswa SMK Lingga Kencana Berencana Bawa Kasus Donasi Palsu ke Polisi

Keluarga Korban Kecelakaan Siswa SMK Lingga Kencana Berencana Bawa Kasus Donasi Palsu ke Polisi

Megapolitan
Gagal Tes dan Terluka karena Begal, Casis Bintara Ini Tes Ulang Tahun Depan

Gagal Tes dan Terluka karena Begal, Casis Bintara Ini Tes Ulang Tahun Depan

Megapolitan
Indra Mau Tak Mau Jadi Jukir Liar, Tak Tamat SMP dan Pernah Tertipu Lowongan Kerja

Indra Mau Tak Mau Jadi Jukir Liar, Tak Tamat SMP dan Pernah Tertipu Lowongan Kerja

Megapolitan
Casis Bintara Dibegal Saat Berangkat Psikotes, Sempat Duel hingga Dibacok di Tangan dan Kaki

Casis Bintara Dibegal Saat Berangkat Psikotes, Sempat Duel hingga Dibacok di Tangan dan Kaki

Megapolitan
Potensi Konflik Horizontal di Pilkada Bogor, Bawaslu: Kerawanan Lebih Tinggi dari Pemilu

Potensi Konflik Horizontal di Pilkada Bogor, Bawaslu: Kerawanan Lebih Tinggi dari Pemilu

Megapolitan
Polisi Masih Selidiki Penyebab Kematian Pria di Kali Sodong Pulogadung

Polisi Masih Selidiki Penyebab Kematian Pria di Kali Sodong Pulogadung

Megapolitan
Ladang Uang di Persimpangan Cakung-Cilincing, Dinikmati 'Pak Ogah' hingga Oknum Polisi

Ladang Uang di Persimpangan Cakung-Cilincing, Dinikmati "Pak Ogah" hingga Oknum Polisi

Megapolitan
Jelang Pilkada, Bawaslu Kota Bogor Imbau ASN Jaga Netralitas

Jelang Pilkada, Bawaslu Kota Bogor Imbau ASN Jaga Netralitas

Megapolitan
Ada Donasi Palsu Korban Kecelakaan Siswa SMK Lingga Kencana, Keluarga: Kayaknya Orang 'Random'

Ada Donasi Palsu Korban Kecelakaan Siswa SMK Lingga Kencana, Keluarga: Kayaknya Orang "Random"

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com