Anung Sarjita, Ketua Rukun Warga (RW) 014 Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, menilai, jarak antara warga kelas atas dan bawah semakin lebar. Ketimpangan ekonomi mendorong tindak kriminal dan konflik sosial di tengah masyarakat.
Anung menduga tertangkapnya 38 orang di kampungnya karena kasus narkoba, 8 November 2014, terkait dengan kondisi sosial ekonomi. Mereka tak terakomodasi lapangan kerja dan terjerat jaringan pemakai atau pengedar. ”Seusai penggerebekan polisi, beberapa warga melaporkan kasus pemerasan, saya kira hal itu berkaitan,” ujarnya.
Ketua RW 019 Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Ricardo Hutahaean, menambahkan, gubernur harus memberi warga miskin kesempatan untuk mengakses layanan pendidikan, kesehatan, dan bahan pangan yang setara dengan warga lainnya. Perhatian lebih bagi kalangan marjinal menipiskan jurang kaya-miskin.
Di sektor ekonomi, lanjut Ricardo, kebijakan Pemerintah DKI Jakarta diharapkan bisa memberdayakan warga berpenghasilan rendah. Warga berharap program Kartu Jakarta Pintar dan bedah kampung dievaluasi agar lebih efektif dan tepat sasaran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, ketimpangan distribusi pendapatan penduduk Jakarta tergolong rendah. Tahun 2010, kue pendapatan yang dinikmati kelompok berpenghasilan rendah 18,25 persen, tetapi turun menjadi 15,67 persen pada 2012.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diharapkan menyelesaikan persoalan terkait perumahan, infrastruktur jalan dan pengairan, serta pemenuhan air bersih.
Indonesia Water Institute mengatakan, hingga 2012, cakupan air bersih baru melayani 46 persen dari 10,1 juta jiwa populasi di Jakarta. Sisanya, memenuhi kebutuhan air bersihnya dari sumur air tanah yang mencapai 248 juta meter kubik per tahun. Namun, air tanah yang dibayar pajaknya hanya sekitar 8,9 juta meter kubik per tahun.
Kampung apung
Sesepuh Kampung Apung, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, mengingatkan Pemprov DKI Jakarta yang telah berjanji akan memulihkan kawasan di RW 001 tersebut hingga menjadi tempat layak huni.
Menurut Zuhri, pada 1987 sampai 1988, banjir mulai masuk halaman warga karena sejumlah bangunan pergudangan menutup gorong-gorong. Pada 1988, banjir mulai datang setelah kawasan ini menjadi pusat pergudangan dan pabrik.
”Sampai akhirnya 1991, kawasan pemakaman pun tergenang dan menjadi rawa hingga kini,” kata Zuhri.
Ia mengatakan, kawasan RW 001 menjadi Kampung Apung bukan karena kesalahan warga, melainkan kesalahan kebijakan tata ruang Pemprov DKI.
Pada 2011, dilakukan proyek pembangunan saluran air dan rumah pompa senilai Rp 14,75 miliar. Pada 2013, proyek serupa senilai Rp 12,5 miliar kembali bergulir, tetapi proyek saluran air itu tak pernah tuntas.
Belakangan, Pemprov DKI mengulang kesalahan lagi. Proyek pengeringan lahan makam terhenti. Akibatnya rawa makam tersebut dipenuhi eceng gondok. Padahal, warga sudah mengorbankan lahan peternakan lelenya dengan membongkar 56 kolam lele. Dana yang dihabiskan Pemprov pun sia-sia.
Mengatasi banjir di Jakarta memang tidak mudah. Selain di Kampung Apung, proyek normalisasi Ciliwung pun tak kunjung bisa terlaksana karena pembebasan lahan tidak juga tuntas. Di sisi lain, lahan untuk relokasi warga tergusur belum sepenuhnya tersedia.
Orang seperti Zuhri dan warga lainnya berharap segera ada terobosan berarti yang membuat Jakarta menjadi lebih manusiawi dihuni oleh masyarakat dari berbagai kelas ekonomi. (MKN/MDN/WIN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.