Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnubrata
Assistant Managing Editor Kompas.com.

Wartawan, penggemar olahraga, penyuka seni dan kebudayaan, pecinta keluarga

Gajah Ngidak Rapah, Mereka yang Melanggar Aturannya Sendiri

Kompas.com - 19/04/2016, 07:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorErlangga Djumena

KOMPAS.com - Gajah ngidak rapah. Pepatah Jawa itu berarti orang yang melanggar perintah atau larangannya sendiri.  

Pepatah tersebut juga mengingatkan bahwa orang bisa saja mengeluarkan aturan, larangan, dan kebijakan tertentu namun belum tentu ia dapat menjalankannya dengan baik.

Menurut cerita kakek saya yang pernah menjadi abdi dalem Kraton Jogjakarta, pada zaman dahulu prajurit kraton berburu dengan berbagai cara. Salah satunya memasang jebakan untuk menangkap harimau atau hewan lain.

Jebakan itu dibuat dengan menggali tanah, lalu ditutupi ranting-ranting dan daun-daun kering yang disebut rapah. Binatang yang akan ditangkap diharapkan menginjak daun-daun itu dan terperangkap.

Konon, bila Sultan ikut berburu, maka prajurit dalam jumlah besar beserta kuda dan gajah akan dilibatkan dalam perburuan. Nah, apa jadinya bila gajah kerajaan yang terperosok ke dalam jebakan?

Peristiwa itulah –meski tidak ada yang tercatat resmi- yang disebut sebagai “gajah ngidak rapah” atau gajah menginjak jebakan. Gajah dengan penunggangnya yang seharusnya tahu kemana dia tidak boleh melangkah, justru menginjakkan kaki ke sana.

Dalam peribahasa di atas, gajah sebagai binatang besar disimbolkan sebagai pemimpin. Seorang pemimpin yang mengerti aturan atau bahkan membuat aturan, tidak semestinya melanggarnya.

Aturan yang dalam budaya Jawa tidaklah terbatas pada aturan hukum, tetapi juga etika. Pemimpin misalnya, tidak pantas mengucapkan kata-kata kasar atau perilaku bejat karena ia menjadi panutan rakyatnya, meski yang dilakukan tidak melanggar undang-undang.

Nah, saat ini kita sedang menyaksikan “gajah-gajah” yang menginjak-injak aturan dan etika. Kita sudah membaca dan mendengar berita tentang Muhammad Sanusi, anggota DPRD DKI yang ditangkap KPK karena menerima suap dari pengusaha.

Sanusi adalah contoh “gajah ngidak rapah” karena dia yang semula gencar menolak reklamasi Pantai Jakarta, justru mengingkari pendiriannya karena menerima suap pengusaha agar menurunkan kontribusi tambahan pengembang terhadap area reklamasi. Itu sama artinya dia menyetujui reklamasi namun meminta “bagian” untuk dirinya.

Kompas TV Kronologi Penangkapan Sanusi oleh KPK

Baca: Sanusi Ditangkap KPK

Kita juga mendengar oknum-oknum penegak hukum yang ditangkap karena mempermainkan perkara demi uang. Yang paling segar dalam ingatan adalah tertangkapnya Deviyanti Rochaeni, seorang jaksa penuntut umum di Kejati Jawa Barat.

Devi ditangkap akhir bulan Maret lalu setelah menerima uang yang diduga ditujukan untuk meringankan dalam kasus korupsi anggaran BPJS yang akan disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jawa Barat. Devi sebagai orang yang mengerti hukum dan seharusnya menegakkan keadilan justru mengangkanginya.

Baca: Ini Kronologi Penangkapan Jaksa dan Bupati Subang oleh KPK

Berita lain yang sedang jadi perhatian terkait dengan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Aziz yang mengaku belum melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sangat ironis bila seorang pejabat yang mengurusi pemeriksaan keuangan lalai melaporkan hartanya. Rasanya tidak mungkin ia tidak mengerti kewajibannya itu.

Harry yang menjabat Ketua BPK sejak tahun 2014, mengaku baru akan melaporkan hartanya Kamis lalu (14/4/2016) sejak menjadi sorotan karena namanya muncul dalam  dokumen Panama Papers.

Soal namanya yang tercantum di Panama Papers juga menjadi pertanyaan publik. Karena dokumen tersebut tidak terlepas dari isu rencana penghindaran pajak (tax avoidance) atau penggelapan pajak (tax evasion). Mengenai hal itu, Harry telah mendatangi kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk menyampaikan klarifikasi.

"Saya sudah mendatangi Dirjen Pajak kemarin, saya rasa sudah clear," ujar mantan Ketua Komisi XI DPR-RI kepada Kompas.com di Jakarta, Sabtu (16/4/2016).

Kompas TV Nama Ketua BPK Muncul di Panama Papers


Seperti diberitakan sebelumnya, nama Harry berada di dalam dokumen Panama Papers yang pertama kali diungkap Koran Tempo pada Rabu (13/4/2016).

Dalam koran itu, disebutkan bahwa Harry merupakan pemilik salah satu perusahaan offshore, Sheng Yue International Limited.

Sheng Yue International Limited diduga merupakan perusahaan yang didirikan di negara suaka pajak dengan tujuan menghindari pembayaran pajak dari wajib pajak kepada negara asalnya. Bila benar yang terjadi adalah soal menghindari pajak, maka hal ini menjadi ironis yang kedua.

Baca: Skandal Keuangan Panama Papers

Masih banyak contoh dari peribahasa "gajah ngidak rapah" yang kita temui sehari-hari. Bahkan jangan-jangan kita sendiri melakukannya.

Saya sering menyuruh anak saya cepat-cepat mandi bila hari beranjak sore. Anak sulung saya biasanya akan menggerutu karena disuruh mandi saat asyik bermain. Toh dia menurut. Sampai suatu hari, saat saya perintahkan mandi, dia bertanya, “Bapak emangnya sudah mandi?”

Sejak saat itu saya baru menyuruhnya mandi bila saya sudah mandi juga.

Pernahkah Anda menyuruh orang lain melakukan sesuatu namun Anda sendiri tak mengerjakannya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Dinas KPKP DKI Jakarta Periksa 79.786 Hewan Kurban, Seluruhnya Dinyatakan Sehat

Dinas KPKP DKI Jakarta Periksa 79.786 Hewan Kurban, Seluruhnya Dinyatakan Sehat

Megapolitan
Bisa Cemari Lingkungan, Pengusaha Konfeksi di Tambora Diminta Tak Buang Limbah Sembarangan

Bisa Cemari Lingkungan, Pengusaha Konfeksi di Tambora Diminta Tak Buang Limbah Sembarangan

Megapolitan
Jusuf Kalla Persilakan Anies Maju Pilkada Jakarta 2024

Jusuf Kalla Persilakan Anies Maju Pilkada Jakarta 2024

Megapolitan
Masjid Agung Al-Azhar Gelar Shalat Idul Adha Hari Ini, Warga: Perbedaan Hal Biasa

Masjid Agung Al-Azhar Gelar Shalat Idul Adha Hari Ini, Warga: Perbedaan Hal Biasa

Megapolitan
Anies-Sandiaga Tak Berencana Duet Kembali pada Pilkada Jakarta

Anies-Sandiaga Tak Berencana Duet Kembali pada Pilkada Jakarta

Megapolitan
Namanya Diusulkan DPD PDI-P untuk Pilkada Jakarta 2024, Anies: Mengalir Saja, Santai...

Namanya Diusulkan DPD PDI-P untuk Pilkada Jakarta 2024, Anies: Mengalir Saja, Santai...

Megapolitan
Akrab dengan Sandiaga Saat Nobar, Anies Sebut Tak Bahas Pilkada Jakarta 2024

Akrab dengan Sandiaga Saat Nobar, Anies Sebut Tak Bahas Pilkada Jakarta 2024

Megapolitan
Momen Anies Salami Jusuf Kalla Sambil Membungkuk dan Hormat ke Sandiaga Sebelum Nobar Film 'Lafran'

Momen Anies Salami Jusuf Kalla Sambil Membungkuk dan Hormat ke Sandiaga Sebelum Nobar Film "Lafran"

Megapolitan
Pengelola Jakarta Fair 2024 Siapkan Area Parkir di JIExpo Kemayoran, Bisa Tampung Puluhan Ribu Kendaraan

Pengelola Jakarta Fair 2024 Siapkan Area Parkir di JIExpo Kemayoran, Bisa Tampung Puluhan Ribu Kendaraan

Megapolitan
Seekor Sapi Masuk ke Tol Jagorawi, Lalu Lintas Sempat Macet

Seekor Sapi Masuk ke Tol Jagorawi, Lalu Lintas Sempat Macet

Megapolitan
10 Nama Usulan DPD PDI-P untuk Pilkada Jakarta: Anies, Ahok, dan Andika Perkasa

10 Nama Usulan DPD PDI-P untuk Pilkada Jakarta: Anies, Ahok, dan Andika Perkasa

Megapolitan
Video Viral Bule Hina IKN Ternyata Direkam di Bogor

Video Viral Bule Hina IKN Ternyata Direkam di Bogor

Megapolitan
Lurah: Separuh Penduduk Kali Anyar Buruh Konfeksi dari Perantauan

Lurah: Separuh Penduduk Kali Anyar Buruh Konfeksi dari Perantauan

Megapolitan
Optimistis Seniman Jalanan Karyanya Dihargai meski Sering Lukisannya Terpaksa Dibakar...

Optimistis Seniman Jalanan Karyanya Dihargai meski Sering Lukisannya Terpaksa Dibakar...

Megapolitan
Kampung Konfeksi di Tambora Terbentuk sejak Zaman Kolonial, Dibuat untuk Seragam Pemerintahan

Kampung Konfeksi di Tambora Terbentuk sejak Zaman Kolonial, Dibuat untuk Seragam Pemerintahan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com