JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menyatakan mudik bukan sekadar ritual tahunan semata.
Namun, tingkat pemudik yang masif setiap momen Lebaran merupakan refleksi dari kondisi Indonesia, yakni ketimpangan pembangunan antara kota dan wilayah regionalnya.
Hal ini disampaikan Yusuf dalam acara diskusi "Ekonomi Mudik dan Pelepasan Program Mudik Berkah" yang diselenggarakan Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) dan Dompet Dhuafa di Terminal Rawamangun, Jakarta Timur.
Menurut Yusuf, Pulau Jawa, khususnya Jakarta atau Jabodetabek, menyumbang angka pemudik yang masif karena sebagian besar masyarakatnya merupakan pendatang dari daerah.
"Mudik ini dalam prespektif kami berakar dari ketimpangan pembangunan. Jadi, masyarakat dari daerah pedesaan kemudian masuk ke wilayah urban, mencari kehidupan yang lebih baik dan status sosial yang lebih tinggi. Ini kemudian menciptakan masyarakat migran yang dari sini kemudian mudik itu muncul," kata Yusuf di lokasi acara Minggu (3/7/2016).
(Baca: Arus Mudik H-5, 900.000 Kendaraan Tinggalkan Jakarta)
Yusuf mencontohkan, Jabodetabek punya jumlah penduduk sekitar 33 juta. Pihaknya memperkirakan, lebih dari separuh atau sekitar 70 persennya adalah pendatang dan mayoritas adalah umat Muslim.
"Begitu ada momentum Idul Fitri dengan semangat spritualitas ketemu kerabat, maka fenomena ini menciptakan mudik," ujar Yusuf.
Yusuf menilai, pemerataan pembangunan desa dan kota masih belum baik dilakukan sehingga mendorong laju urbanisasi atau perpindahan masyarakat dari desa ke kota.
Indonesia, menurut dia, termasuk negara dengan urbanisasi tercepat di dunia, yakni sekitar 4 persen per tahun.
(Baca: Arus Mudik H-5, 900.000 Kendaraan Tinggalkan Jakarta)
"Jadi, kalau fenomena ketimpangan desa dan kota, antara Jawa dan luar Jawa terus berlanjut, fenomena mudik akan semakin besar ke depan dan tetap akan terkonsentrasi di Jawa," ujar Yusuf.
Yusuf mengatakan, solusinya bukan menyalahkan atau melarang warga mudik, melainkan dengan pembangunan merata antara kota dan desa. Itu dapat menurunkan jumlah perpindahan penduduk.
Selain itu, hal tersebut dapat menurunkan tingkat kemacetan, kecelakaan, dan meninggal dunia saat mudik.
"Secara sosiologis, kita enggak bisa nafikan kalau masyarakat migran pasti rindu kampung halaman, apalagi kalau berpisah dengan kerabat. Tetapi, ketika pusat pertumbuhan ekonomi diratakan, orang tidak perlu berpindah mencari pekerjaan yang layak atau untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Ini akan mengurangi potensi mudik secara lebih kuat," ujar Yusuf.
Sebab, di negara lain, menurut dia, urbanisasi umumnya juga terjadi.
"Tapi, tidak ada yang fenomena balik kampungnya itu semasif kita di Indonesia karena memang ketimpangan kita juga masif. Kalau ketimpangan kita enggak parah, mudik enggak akan semasif ini," ujar Yusuf.
IDEAS juga melakukan riset, secara nasional, ada 20 kota yang tersebar selain Jabodetabek, yakni Makassar, Lampung, Medan, dan kota besar lainnya, yang tingkat masyarakatnya melakukan mudik di momen Lebaran tinggi.
Estimasi pihaknya, dari 20 wilayah itu, ada 32,2 juta pemudik yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Jawa.