Oleh: WINDORO ADI/HELENA F NABABAN/PINGKAN ELITA DUNDU
Ciliwung, Pesanggrahan, Cisadane, Angke. Empat sungai yang pernah menjadi prasarana transportasi air dan pemasok air utama ke Batavia ini sama-sama berhulu di Gunung Pangrango, Jawa Barat. Meski demikian, arus deras sejarah awal Jakarta yang diwarnai pertumpahan darah lebih banyak terjadi di Kali Angke.
Jakarta yang awalnya adalah bagian dari Kerajaan Sunda direbut Kesultanan Banten dan mencapai masa gemilang di era pemerintahan Pangeran Jayakarta III, Jayawikarta (Pangeran Sungerasa Jayawikarta/Adipati Wijayakrama/Pangeran Arya Tengah).
Di saat Jayakarta mencapai masa keemasan inilah, Kesultanan Banten kembali memanas. Pangeran Ranamenggala (wali Sultan Banten keempat, Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir yang kala itu masih belia) diam-diam berambisi mengambil alih Jayakarta dari tangan Jayawikarta (Batavia 1740, Menyisir Jejak Betawi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010).
Tanggal 22 Desember 1618, Ranamenggala mengerahkan 4.000 tentaranya menyusuri Kali Angke (Rivier van Angkee) memasuki Kadipaten Jayakarta. Pasukan Banten bergabung dengan Pasukan Jayakarta untuk menyerang VOC.
Inilah untuk pertama kalinya darah tertumpah di Kali Angke. Hanya dengan setengah hati Ranamenggala menghalau pasukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda) dan Inggris. Meski demikian, aksi militer Kesultanan Banten ini mampu memaksa Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen kabur ke Maluku.
Seusai penyerbuan, Ranamenggala memecat dan menangkap Jayawikarta, 2 Februari 1619. Jayawikarta dibuang ke Desa Katengahan, Tanara, Serang, Banten. Ia meninggal dan dimakamkan di sana dengan sebutan Pangeran Panengahan (Pangeran Arya Tengah) karena perannya sebagai penengah pertengkaran kalangan elite Kesultanan Banten.
Saat Kompas dengan dua perahu karet bersama personel Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) menyisir Angke dari perbatasan Bogor-Tangerang sampai Cengkareng Drain, Jakarta Barat, pada Jumat (2/9/2016), jejak pasukan Kesultanan Banten itu telah lenyap, tak tersisa. Tetapi, seusai melintasi Bendung Polor di Kelurahan Petir, Cipondoh, Kota Tangerang, bayangan puluhan perahu pasukan Kesultanan Banten tersebut muncul kembali.
Bayangan itu melintas di beberapa ruas kali yang tepiannya masih rindang dan temaram dengan lebar kali masih sekitar 20 meter. Gemericik air dari dayung-dayung yang terayun terdengar sayup.
Genosida
Darah kembali tertumpah di Kali Angke setelah pemberontakan Tionghoa pecah, 9-11 Oktober 1740.
Cerita berawal setelah Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier (1737-1741) membiarkan gelombang imigrasi kaum Hokkian terus berlangsung. Arus imigrasi akhirnya tak hanya membawa kaum Hoakiau (Tionghoa perantauan) yang bersumber daya manusia tinggi, tetapi juga para Hoakiau kriminal.
Sampai kemudian harga gula dunia jatuh di akhir 1730. Industri gula di Batavia nyaris bangkrut. Banyak orang kehilangan pekerjaan sementara arus imigran Tionghoa terus mengalir sampai akhirnya memicu pemberontakan.
VOC lalu mengambinghitamkan Kapitan Tionghoa, Ni Hoe Kong, dan membantai 10.000 orang Tionghoa. Mayat mereka dilempar ke Kali Angke, di sekitar Toko Tiga sampai di sekitar Jalan Pangeran Tubagus Angke saat ini, sebelum pelintasan kereta api Stasiun Angke, Jakarta Barat.
Hoe Kong dituduh bersekongkol dengan perusuh Ni Wei Kong dan Tjet Kong. Dengan bantuan kedua orang itu, Hoe Kong dituduh telah menyiapkan massa bersenjata di pabrik-pabrik penggilingan tebu miliknya untuk memberontak. Hoe Kong dituduh memerintahkan mereka membunuh 50 orang Eropa dan sejumlah pejabat menengah VOC pada 7 Oktober 1740.
Setelah kejadian ini, pasukan VOC membabi buta memburu setiap orang Tionghoa di Batavia. Sebagian besar mereka kembali ke Tangerang, sebagian orang lainnya lari ke Depok, Jawa Barat, dan ada sebagian orang lain yang lari ke Jawa Tengah dan mendapat perlindungan Raja Mataram, Sunan Pakubuwono II.
Tanggal 1 Februari 1741, pecah pemberontakan terhadap VOC di Pati, Jawa Tengah. Sejak itu pemberontakan orang-orang Jawa dan peranakan Tionghoa meluas ke seluruh Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Setelah pasukan Pakubuwono II berhasil dipukul pasukan VOC, pemberontakan mereda dan baru berakhir pada 1743.
Kali Merah
Seusai hiruk-pikuk ini, orang-orang Tionghoa memberi arti baru Angke dalam bahasa Hokkian sebagai kali merah atau sungai darah. Sebelumnya, nama Angke dimaknai sebagai nama Tubagus Angke.
Tubagus Angke atau Kawis Adi Martha adalah Pangeran Jayakarta II, ayah Jayawikarta. Tubagus Angke menikah dengan Ratu Fatima Pembayun, anak keenam Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama.
Leonard Y Andaya dalam bukunya, The Heritage Of Arung Palakka, menulis, tahun 1663, Arung Palakka, Sultan Bone, bersama para pengikutnya pernah tinggal di salah satu ruas tepian Kali Angke dan mendapat julukan Toangke (orang-orang Angke yang disegani). Arung dan kelompoknya tinggal di tepian Kali Angke tersebut setelah terdesak oleh pasukan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa, Makassar.
Empat tahun kemudian, setelah mendapat bantuan pasukan dan amunisi dari VOC, Arung dan kelompoknya menggulingkan Hasanuddin.
Tradisi dan festival
Karena Kesultanan Banten terus diwarnai pertikaian internal,VOC kemudian memindahkan pangkalan dagangnya ke Batavia. Kali Angke menjadi andalan transportasi air mengangkut bermacam bahan bangunan dari Tangerang (West Omilanden) ke Batavia. Di bawah Kapitan Tionghoa pertama, Souw Beng Kong, ribuan peranakan Tionghoa didatangkan dari Tangerang.
Sebagian besar mereka, kata pemerhati budaya peranakan Tionghoa, Udaya Halim, mengembangkan perkebunan tebu dengan memanfaatkan air terutama dari Kali Angke dan Ciliwung. Tak heran jika Batavia kemudian dikenal sebagai salah satu pemasok gula dunia.
Dari perkebunan tebu inilah kemudian muncul sejumlah tradisi dan festival air di tepian Kali Angke sejak dari ruas Tangerang sampai Batavia. Tradisi dan festival air tersebut antara lain Pek Cun (lomba perahu naga), melepas kura-kura, dan ikan ke sungai. Kelenteng-kelenteng dan rumah kawin (balai pernikahan) pun tumbuh bertebaran di beberapa ruas Angke.
Catatan Kompas, sampai awal tahun 1990-an, sejumlah rumah kawin di tepi Kali Angke di ruas Jalan Tubagus Angke, terutama di sekitar Pesing Poglar, Kedaung Kali Angke, Cengkareng, Jakarta Barat, masih tampak. Kini, rumah-rumah kawin tersebut hanya bisa dijumpai di kawasan Teluk Naga dan Sewan, di Kecamatan Kampung Melayu, Kabupaten Tangerang.
Sejarawan Jakarta, Mona Lohanda, menyampaikan hal serupa. "Perkebunan tebu berawal dari Tangerang, kemudian meluas ke Batavia. Ini menunjukkan, imigran Tiongkok terbesar ke Batavia berasal dari Tiongkok Selatan. Ya, dari suku Hokkian. Mereka umumnya petani tebu," tutur Mona.
Ekonomi desa kota
Ia mengakui imigran Tiongkok kala itu lebih memilih tepian Kali Angke sebagai kawasan permukiman dibandingkan dengan tepian Kali Ciliwung. Selain karena Angke lebih kecil dibandingkan Ciliwung, juga karena Ciliwung melintas di tengah kota Batavia, sedangkan Angke tidak.
Karena melintasi kota, maka di beberapa ruas Kali Ciliwung tumbuh kegiatan ekonomi kota, sedangkan di beberapa ruas Kali Angke berkembang kegiatan ekonomi pedesaan.
"Para imigran yang umumnya petani ini biasanya memilih tempat tinggal ataupun tempat kerja yang suasananya mirip atau merujuk ke kampung halaman mereka. Hanya sebagian kecil imigran Tiongkok yang hidup di kota. Mereka umumnya adalah pedagang besar, termasuk pedagang opium, bankir, dan bagian dari birokrat VOC ataupun Hindia Belanda," papar Mona.
Menurut dia, sebelum tahun 1760, Kali Angke lebih banyak dimanfaatkan sebagai alat transportasi, baik untuk mengangkut hasil bumi, kayu, maupun bahan bangunan lainnya. Kala itu tepian Kali Angke jauh lebih ramai ketimbang Kali Ciliwung.
Maklum, perkembangan Kota Batavia berawal dari Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, lalu meluas ke Jakarta Barat sebelum akhirnya meluas ke Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Riwayat panjang Angke ini terus mewarnai sejarah urban Jakarta hingga hari ini. Banyak cerita yang ditemukan saat Kompas, melalui liputan khusus Jakarta Kota Sungai, menelusuri sungai sarat sejarah ini....
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 November 2016, di halaman 27 dengan judul "Aliran Kemelut Sejarah Kelam Jayakarta".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.