JAKARTA, KOMPAS.com – Arifin Siagian baru mengambil tempat duduk setelah banyak plastik belanjaan ia bawa ke bagian dapur. Dialah pemilik Lapo Siagian Boru Tobing, nama salah satu rumah makan yang dibesarkannya sejak puluhan tahun lalu.
Arifin biasanya datang ke rumah makan itu pada malam hari. Ya, meskipun usaha rumah makan itu sudah dikelola anaknya, Paulus Siagian, ia masih jadi juru masak dan peracik bumbu.
Menurut dia, saat ini suasana warungnya sudah jauh lebih ramai dibandingkan dulu. Setelah sudah ramai, dia menyesalkan keputusan pihak pengelola GBK, pemilik lahan, yang tidak memperpanjang kontrak para pedagang.
“Sekarang sudah enak, mesti ditutup,” ujar Arifin.
Arifin mengingat bagaimana dia jatuh bangun usahanya di tempat itu. Dia mengaku sempat merasakan sepinya pengunjung selama bertahun-tahun.
Dia mulai berkisah, Lapo—makan khas Batak—adalah jenis usaha yang pertama kali terpikir saat menginjakkan kaki di Jakarta pada 1982.
“Dulu di kampung (Sumatera Utara), orangtua memang pengusaha Lapo. Sampai sini (Jakarta), yang terpikir adalah membuat Lapo juga. Namanya diambil dari rumah makan milik orangtua. Sudah warisan,” ujarnya.
Setahun di Ibu Kota, Arifin bulat tekad buka Lapo. Maka pada 1983, ia buka Lapo di Jalan Asia Afrika.
“Dulu lahan dagang itu masih milik pemerintah daerah (Pemda), tetapi sistemnya bukan sewa-menyewa melainkan hak milik pedagang sebelumnya,” ujarnya.
Hasil nego dengan pedagang, didapatlah empat kios. Arifin kala itu mengeluarkan kocek kurang leih Rp 3 juta untuk itu.
“Kalau ke Pemda, urusannya untuk bayar retribusi bulanan saja,” kata dia.
Jalan Asia Afrika kala itu, kata Arifin, memang sentra kuliner. Berbagai macam jenis makanan, utamanya nusantara, tersedia. Warung lapo juga bukan satu-satunya di sana. Meski demikian, hampir seluruh rumah makan tak pernah kelihatan sepi.
“Sama-sama laku, setiap hari ramai pengunjung,” ujarnya.
Ujian pertama lalu datang, waktu itu usia rumah makannya kurang lebih berumur 3 tahun. Ada kebakaran yang melahap habis seluruh bahan dan peralatan rumah makan.
“Untunglah masih ada tabungan. Pemda kembali membangun. Kami pun kembali berjualan seperti semula,” kata dia.
Setelah hampir 10 tahun berjualan di sana, kabar akan diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok 1992 datang. Mereka pun diimbau untuk pindah. Waktu itu, para pedagang direlokasi.
Tempat relokasi itulah yang kini menjadi tempatnya berdagang, di Lapangan Tembak Senayan. Warungnya berdiri di bagian belakang, dengan ukurannya satu petak atau 4 x 4 meter persegi. Letaknya, berseberangan dengan Jalan Palmerah Selatan, bukan di pintu masuk Pujasera.
Sengaja, oleh Arifin, suasana dibuat sama. Bangku dan meja ditata sederhana. Ruangan pun seadanya. Tak ada pendingin, hanya ada kipas angin di beberapa sudut. Untuk memberi kesan lega, ia menaruh kaca pada sepanjang dinding pojok.
Awalnya, ia optimistis lapo akan laku.
“Mikirnya karena lokasi pindahnya dekat, kami akan cepat ramai. Ternyata tidak demikian,” ujar Arifin.
Ia harus berlapang dada menerima kenyataan bahwa pelanggan tak sebanyak dahulu. Sebab, saat itu jalan belakang belum dibuka.
"Jadi ini memang bukan akses yang kerap dilewati orang,” ujarnya.
Keadaan sepi tersebut, kata Arifin, membuat banyak pedagang stres kemudian menutup usahanya. Bahkan, ada pedagang martabak yang sampai sakit, kemudian meninggal.
Beda dengan pedagang yang memilih tutuo, Arifin memiliki keyakinan kalau suatu hari nanti tempat itu akan ramai. Ia pun berani mengambil lahan warung tutup yang bersisian dengan rumah makannya. “Tiga kalilah kami memperbesar warung ini,” ujarnya.
Kondisi sepi berlangsung hingga 7 tahun. Manajemen Gelora Bung Karno (GBK) pun sebagai pengelola tidak mengambil uang sewa. “Mereka mengerti kalau usaha kami hampir mati. Tak ada uang,” katanya.
Sampai pada akhirnya, pengunjung ramai berdatangan. Jalan itu jadi akses menuju kawasan Jakarta Selatan. Terlebih lagi, letaknya dekat dengan Stasiun Palmerah.
“Tak disangka lokasi ini jadi terasa begitu strategis dan bisa dilewati banyak orang,” ujarnya.
Barulah setelah itu, Arifin dan keluarga mencicipi ranum usaha tersebut. Pada jam makan siang, orang bisa mengantre untuk makan di tempat. Bahkan, kalau sudah dekat waktu Idul Fitri, jumlah pengunjung bisa berkali-kali lipat.
“Lapo ini penghasilan utama saya. Dari sini saya bisa menyekolahkan enam anak saya,” kata dia.
Dari Lapo, omzet satu bulan yang bisa diraup Arifin sejumlah Rp 80 juta. Dia harus membayar 15 karyawan, uang sewa, dan pembelian bahan baku rutin. Keuntungan bersih yang dipetiknya hanya 25 persen.
Sejak tahun 2000, usaha Arifin sudah berpindah tongkat estafet. Kali ini, dipegang oleh anak ke-lima, Paulus Siagian. Di tangan Paulus, rumah makan sama ramainya. Berperawakan tegas dan vokal, ia juga dipercaya sebagai Ketua Paguyuban Pedagang.
Kabar tutup
Arifin masih tak percaya dengan kabar imbauan tutup lahan dagang kawasan yang ditempatinya sekarang. Ia mengaku, belum ada rencana apapun menghadapi kalau benar per 28 Februari 2016 nanti tempat itu harus dikosongkan.
“Di sini kami hidup, bertetangga, bersaudara. Mengenal satu sama lain, antar pedagang dan pelanggan. Dari mereka kecil sampai besar,” ujarnya.
“Dulu itu, dia dari belum jadi apa-apa. Ada juga yang sudah jadi Menteri, sekarang,” ucapnya.
Relasi yang sedemikian dekat bahkan tak membuat Arifin tega menaikkan harga saat ada bumbu masak yang harganya melonjak tajam.
Namun, apa pun kenangannya, kenyataan harus dihadapi. Pernyataan keberatan juga sudah diurus oleh anaknya dan seluruh pedagang lain. Keinginan mereka, paling tidak ada kesempatan relokasi.
“Kami coba meminta relokasi, tak dikabulkan. Minta waktu sampai Idul Fitri 2017, tak dikabulkan. Lalu, minta lagi perpanjangan tiga bulanlah setidaknya sampai Maret 2017, juga tidak dikabulkan,” ucap Paulus.
Menerima keadaan itu, ia dan pedagang lainnya kini pasrah. Namun, upaya untuk bernegosiasi dengan pengelola terus diupayakan.
Mendengar Paulus, Arifin hanya bisa memalingkan wajah. Matanya menerawang, sesekali berpaling melihat para pekerja rumah makan membereskan meja dan bangku. Pukul 9 malam, tak ada lagi tamu datang.
"Sebentar lagi kami tutup," ujar Arifin sembari bangun dari posisi duduknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.