Soemarno pernah memikirkan pabrik kompos untuk mendaur ulang sampah menjadi pupuk kompos.
Namun, pemikirannya itu tidak terealisasi. Ia mengakui, persoalan sampah adalah persoalan pelik yang tak mudah dipecahkan.
“Dalam menertibkan sampah sehari-hari kami telah berhasil, tetapi dalam soal pembuangannya mengalami kesukaran-kesukaran. Antara lain dapat disebut kegagalan untuk menyelesaikan pabrik kompos yang telah dibeli di London, yang maksudnya akan mengolah sampah yang terkumpul menjadi pupuk,” tulis Soemarno yang juga dokter tentara itu.
Pembangunan era Soemarno
Berita Harian Kompas yang terbit pada 24 Desember 1993 mengabarkan, Jakarta mulai menggeliat menjadi kota metropolitan sejak dipimpin Soemarno.
Jakarta saat itu sudah ditetapkan menjadi Ibu Kota negara. Sasaran pembangunannya menyesuaikan Outline Plan 1957 yang berkiblat metropolis.
Saat Soemarno menjabat sebagai gubernur, harga tanah sudah mahal. Ia yang memikirkan nasib rakyat kecil akhirnya mencetuskan pembangunan rumah tingkat.
Ide itu disebut “rumah minimum” yang dibangun di atas lahan 100 meter persegi dengan bangunan bertingkat dua masing-masing berukuran 90 meter persegi.
Baca juga: Mengenal Ali Sadikin, Gubernur Jakarta Berwatak Keras yang Pernah Tampar Sopir Truk
Rumah mini (di zaman itu) idealnya tak jauh dari wilayah pertokoan, perkantoran, dan perusahaan.
Dilandasi pemikiran ini, aparat pemerintah Jakarta mulai mengincar daerah bekas korban kebakaran besar. Di sana diplot untuk proyek rumah minimum bagi warganya.
Selain rumah mini, ada juga pembebasan lahan untuk pembangunan kompleks olahraga dalam rangka Asian Games 1962.
Lapangan Merdeka yang sudah digembar-gemborkan akan dibangun Tugu Nasional membuat pemerintah Jakarta turun tangan membenahinya.
Saat itu, di sana masih tegak sejumlah bangunan tua dan ribuan perumahan liar.
Soemarno bersama wakilnya, Henk Ngantung, juga meneruskan pembebasan tanah untuk beberapa proyek penting.
Proyek Banjir Pluit harus membebaskan lagi 450 hektar lahan untuk danau dan sarananya.
Konsekuensinya, pemerintah harus memindahkan sekian banyak pemukim kawasan kumuh itu.
Kemudian Ancol yang berupa areal tambak udang dan bandeng, serta hutan bakau yang dimukimi kawanan monyet, dibebaskan untuk proyek rekreasi, perumahan, dan bangunan industri.
“Pembebasan Ancol dan Pluit, seperti halnya pembebasan tanah untuk Asian Games dapat mudah dilaksanakan karena keadaan perang ... peraturan yang dikeluarkan didasarkan pada Peraturan Keadaan Perang," tulis Soemarno sebagaimana diberitakan Harian Kompas dalam judul Gubernur Dokter dalam ‘Keadaan Perang’.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.