JAKARTA, KOMPAS.com - Bagi sebagian kalangan, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mungkin hanya berarti pemindahan tempat kerja dari kantor ke rumah.
Namun, bagi sebagian lainnya, PPKM berarti kehilangan pekerjaan.
Begitulah nasib yang dialami Bete (42), warga Pademangan Barat, Jakarta Utara. Biasanya, bapak satu anak ini berdagang aneka mainan di taman wisata pantai di Jakarta utara.
Kini, ia tidak dapat lagi berjualan karena tempat wisata ditutup seiring diberlakukannya PPKM darurat sejak 3 Juli kemarin.
Alhasil, Bete kelabakan memenuhi kebutuhan keluarga. Dia sudah tak mampu membayar sewa kontrakan sehingga harus mengungsi ke rumah mertua.
Baca juga: Di Tengah Keterbatasan, Satu Per Satu Warga Miskin Jakarta Meninggal Saat Isolasi Mandiri
Bersama sang istri, Bete kini melakukan pekerjaan apa saja untuk mencari makan. Perkara bisa terpapar Covid-19 karena bekerja di luar rumah sudah tak menjadi momok bagi mereka.
"Kalau (bagi) saya, PPKM itu sama dengan Pak Kapan Kita Mati," ujarnya kepada Kompas.id, Senin (12/7/2021).
Selain kehilangan pekerjaan, Bete juga tak kunjung mendapatkan bantuan sosial tunai (BST) sebesar Rp 300.000 per bulan dari pemerintah.
Bantuan terakhir yang ia terima sebesar Rp 600.000, untuk bulan April dan Mei, didapat sekitar dua bulan lalu. Sementara, bantuan sosial untuk Juni dan Juli tahun ini tak kunjung cair.
”Kami bukannya tidak bersyukur. Masa PPKM ini, kadang-kadang kita sakit hati. Dibilang masyarakat tenang. Bagaimana kita tenang, yang benar-benar tidak ada penghasilan. Pemerintah menganggap sebulan bantuan Rp 300.000 itu cukup, (padahal tidak),” ungkapnya.
Baca juga: Antara Ambisi Megaproyek Anies dan Nasib Miris Warga Miskin yang Tak Kunjung Terima Bansos
Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Eny Rochayati, masyarakat yang tinggal di kampung-kampung Jakarta, salah satunya di Jakarta Utara, kini hidup dalam ketidakberdayaan.
Warga bertahan tanpa nafkah hingga ada yang meninggal sesak napas tanpa teridentifikasi secara medis penyebab kematian tersebut.
”Kejadian kematiannya tinggi sekali. Setiap hari, ada kematian, paling tidak itu dua orang. Gejalanya sama, sesak napas,” kata Eny.
Banyak dari warga yang meninggal itu bertahan di rumah karena ditolak rumah sakit yang kelebihan kapasitas di tengah lonjakan kasus Covid-19.
Baca juga: Patungan Rakyat Bahu-membahu Selamatkan Nyawa Warga Miskin Kota yang Makin Terpinggirkan
Di wilayah RW 019, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, setidaknya 48 warga menjalani isolasi mandiri di rumah setelah dinyatakan positif Covid-19.
”Ada warga yang sampai sesak napas, kami angkut pakai becak. Susah akses ambulans. Saya coba telepon ke rumah sakit supaya dapat ruang di ICU (tapi belum dapat juga) sampai akhirnya meninggal dunia,” kata Ketua RW 019 Kelurahan Tugu Utara, Ricardo Hutahean.
Di RW Ricardo, sudah tiga orang yang meninggal saat isolasi mandiri.
Dari kejadian tersebut, JRMK berharap kepada pemerintah untuk tak sekadar mengutamakan sosialisasi dan penegakan hukum PPKM darurat.
Warga miskin kini membutuhkan solusi konkret dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ekonomi, sosial, dan persoalan kesehatan yang mendera warga.
”Orang sehat itu karena makan. Kita diminta tidak ke mana-mana untuk memutus mata rantai penularan. Tetapi, kebutuhan kita tidak dipenuhi. Jadi mesti imbang, yang sakit ditolong, yang sehat juga ditolong,” ucap Eny lagi. (Kompas.id/ Stefanus Ato)
Artikel di atas telah tayang di Kompas.id dengan judul "Warga Miskin Ibu Kota Bertahan dengan Secuil Asa dan Sedikit Nafkah".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.