Para perupa ruang publik atau street artist dari dalam dan luar negeri ”menyerbu” kampung-kampung di Jakarta. Di kampung-kampung itu, seni menjadi narasi sejarah kecil, kisah yang bercerita tentang keseharian orang-orang kampung itu sendiri.
Seb Toussaint menggeleng ketika Siti Maimunah menawarinya untuk melukis mural pemandangan di dinding samping rumah Siti. Padahal, Toussaint-lah yang merayu Siti agar mengizinkannya melukis mural di dinding itu.
”Jangan sesuatu yang abstrak, ’kata’, kami mencari ’kata’. Tolong pilih satu ’kata’ yang inspiratif. Satu saja,” ujar Toussaint kepada Siti yang sepertinya senang rumahnya dipilih untuk dilukisi mural Toussaint.
Siti berpikir sejenak, mencari-cari kata, lalu teringat Jumat itu adalah hari pertama pada bulan Agustus, bulan kemerdekaan Indonesia. ”Merdeka?” Siti menawarkan.
Toussaint bertanya apa arti kata ”merdeka”, dan begitu mendapat jawaban ia langsung setuju. Ia kian senang ketika menerima secarik kertas bertuliskan ”merdeka”. ”Kata yang ringkas, kaya makna,” ujarnya sambil menggantung kertas itu ke kawat meteran listrik di dinding samping rumah Siti.
Diambilnya tabung cat semprot putih, tangannya cepat menoreh dua garis horizontal sejajar yang terpisah jarak satu meteran. Ia menaksir ukuran ideal huruf-huruf muralnya agar ”merdeka” pas memenuhi dinding samping selebar tujuh meteran itu.
Pilihan warga
Tabung cat semprot Toussaint seperti menari, cepat membentuk sketsa kasar muralnya di dinding abu-abu itu. Teman seperjalanan Toussaint, seorang fotografer dan pembuat film pendek yang menyebut dirinya Spag, segera mengeluarkan beberapa kaleng plastik cat akrilik, menyiapkan nampan cat dan kuas gulirnya. Keduanya terus berdiskusi tentang konsep mural yang akan mereka gambar di dinding rumah Siti.
Sejak Jumat (26/7/2013), Toussaint yang asal Inggris dan Spag yang asal Perancis berkeliling Kampung Bayur, Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, dan melukis mural di tiap dinding kosong yang terlihat ke jalan.
”Kenapa Kampung Bayur?” Toussaint mengulangi pertanyaan. ”Ya karena kami menumpang di rumah teman kami, di dekat sini. Lalu kami berjalan kaki masuk ke sejumlah kampung dan akhirnya memutuskan membuat mural di sini,” ujar perupa yang pernah membuat mural di Bolivia, Paraguay, Brasil, China, dan sejumlah negara Eropa itu.
”Biasanya saya hanya melintas, membuat sebuah mural dalam sehari. Ini pertama kalinya saya dan Spag menjelajah satu kampung hingga tiga pekan,” kata Toussaint.
Hingga Kamis (1/8/2013) tengah hari, mereka telah merampungkan empat mural, semuanya mengandung sebuah kata. ”Assalamualaikum”, ”Banjir”, ”Bismillah”, dan ”Kali Malang”. Tiap kata dipilih sendiri oleh pemilik rumah, kecuali ”Banjir” yang dilukis di tembok depan rumah Frans Simatupang.
”Mereka memilih sendiri kata itu, mungkin karena mendengar cerita kalau kampung kami sering kebanjiran. Nyaris tiap tahun kami kebanjiran,” kata Simatupang, yang Kamis itu juga menonton Toussaint dan Spag bekerja.
Seni, penawar masalah?
Bukan hanya permukiman di Kampung Bayur yang diserbu para seniman seperti Toussaint dan Spag. Longoklah Kampung Babakan di Desa Binong, Kecamatan Curug, Tangerang.