"Pertama, jika betul ada dugaan kuat bahwa guru JIS memalsukan dokumen izin tinggal, maka seharusnya dipidanakan dahulu sesuai UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Setelah proses hukum selesai, baru dideportasi," kata Komisioner KPAI Susanto kepada Kompas.com, Kamis (5/6/2014).
Kesalahan kedua, menurut dia, proses pengungkapan kasus kekerasan seksual di JIS masih belum tuntas. Jika guru JIS dideportasi, maka proses pengungkapan pelaku kejahatan seksual di JIS akan terhambat.
"Tentu semua perlu diperiksa, untuk memastikan siapa sebenarnya pelaku lain di luar tenaga kebersihan," sambungnya.
Adapun kesalahan ketiga, lanjut Susanto, jika terburu-buru mendeportasi tanpa proses hukum terhadap dugaan pemalsuan dokumen, perasaan masyarakat Indonesia akan terlukai.
"Kita sebagai negara hukum, namun praktiknya sangat lemah. Alasannya, karena terduga pemalsu dokumen tidak dipidana sebelum dideportasi," ujarnya.
Kesalahan keempat yakni posisi tawar Indonesia di mata negara asing "kurang berwibawa" karena tidak tegas terhadap terduga pelaku pelanggaran hukum yang diduga memalsukan dokumen izin tinggal di Indonesia.
Sebelumnya, Kemenhuk dan HAM berencana mendeportasi 23 guru asing di JIS karena tidak memiliki izin tinggal. Rencana deportasi dilakukan di tengah penyidikan kasus kejahatan seksual di JIS terhadap salah seorang siswa berinisial AK. Kasus kejahatan seksual di sekolah bertaraf internasional ini sudah memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.