JAKARTA, KOMPAS.com - "Duk..duk..duk..", begitulah suara yang dulunya kerap terdengar ketika pagi buta di Kampung Suku Baduy, Banten.
Suara itu tak lain adalah bunyi lisung, tempat menumbuk padi, yang digunakan ibu-ibu Suku Baduy.
Mereka menumbuk padi isuk-isuk (pagi-pagi) untuk dimasak sebagai bekal makanan ke ladang.
(Baca: Perkenalan Budaya Baduy dengan Budaya Modern)
Arkeolog Cecep Eka Pernama bercerita, ia mendengar bunyi itu setiap kali datang ke Kampung Baduy. Bunyi lisung isuk-isuk itulah yang selalu membangunkan Cecep saat menginap di sana.
"(Saya) pagi-pagi sekali dibangunkan oleh duk..duk..duk..," ujar Cecep dalam Diskusi Gerakan Rayakan Perbedaan Baduy Kembali di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (8/4/2016).
Namun, Cecep kini tidak pernah lagi mendengar bunyi itu. "Suara lisung itu hilang, tahun 2000-an," katanya.
Menurut Cecep, hilangnya bunyi lisung isuk-isuk itu terjadi akibat semakin banyaknya penduduk Kampung Baduy.
Namun, pertumbuhan penduduk tidak dibarengi dengan perluasan lahan.
"Tanah yang terbatas itu dengan penduduk yang semakin bertambah, menyebabkan lahan pertanian dan rumah berkurang," kata dosen Arkeologi Universitas Indonesia ini.
Dengan demikian, hasil ladang yang terbatas itu kemudian disimpan dan hanya digunakan untuk upacara adat.
Sebab, warga Suku Baduy tidak boleh membeli beras untuk upacara adat tersebut. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka kini lebih banyak membeli beras di pasar.
(Baca: Yuk, Belanja Kerajinan khas Baduy di Bentara Budaya Jakarta)
Hal itu jugalah yang menyebabkan bunyi lisung isuk-isuk itu hilang. "Karena beras sudah beli, lisung itu tidak pernah bunyi lagi, karena padi tidak ditumbuk lagi," kata Cecep.