Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jerit Nelayan Muara Angke Terbunuh Limbah

Kompas.com - 09/08/2012, 21:21 WIB
Galih Prasetyo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama Ramadan, terlebih menjelang Idul Fitri atau Lebaran, kondisi para nelayan kecil di wilayah Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara, tidak lantas berubah menjadi lebih baik. Sudah hampir 3-4 bulan terakhir tangkapan ikan para nelayan di sana malah menurun.

Ada beberapa hal penyebabnya. Pertama, iklim yang kurang mendukung, yakni cuaca yang buruk, seperti ombak yang besar, menghambat nelayan kecil untuk mencari buruan.

Kedua, karena limbah yang mengotori laut, yang tentunya mempengaruhi kehidupan ikan. Tak jarang ditemukan berton-ton ikan mati karena tak mampu bertahan hidup dengan limbah.

"Kalau nelayan besar sih lewat-lewat saja ke laut. Ikan susah ditangkap akibat iklim itu. Sehingga pada tempat-tempat tertentu (ikan) pindah. Akhirnya nelayan mencari di tempat-tempat biasa, jelas menurun hasilnya. Terutama ikan-ikan besar sulit didapat. Pendapatan nelayan semakin turun," kata Ketua Umum DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) DKI Jakarta Yan Wirasasmita Kepada KOMPAS.com, di Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (9/8/2012).

Nelayan dalam skala kecil memang merasakan kesulitan. Terlebih, menurut Yan, Jakarta bisa dikatakan tempat buang sampah terbesar di dunia. Dengan kata lain, Jakarta seolah-seolah 'tong sampah'.

Tiga belas sungai mengalir ke teluk Jakarta tanpa ada penyaring atau tata kelola yang jelas. Pada musim penghujan dan banjir, segalanya bermuara ke laut, termasuk sampah.

Yan menuturkan, di tengah laut, kurang lebih 4-5 mil dari bibir pantai, kerap ditemukan 2-3 hektar hamparan sampah yang terapung. Belum lagi dengan sampah yang tenggelam. Tentu jumlahnya bisa ditaksir mengerikan.

"Inilah yang menjadikan para nelayan, terutama nelayan kecil, menerima imbasnya karena kehidupan ikan sudah berkurang. Kondisi sekarang dari pantai sampai kira-kira 1 mil, warna air laut sudah berubah berwarna hitam membiru, penuh dengan sampah. Sehingga tidak memungkinkan ikan itu hidup," ujar Yan.

Kerang Hijau pun Jadi Korban

Apabila dijumlahkan setiap tahunnya, bisa ribuan ikan mati akibat laut yang ternoda limbah. Bahkan menurut Yan, kerang hijau yang terkenal tahan limbah pun turut terkena dampak limbah yang menggila.

"Sekarang kerang hijau yang terkenal tahan limbah kena juga. Mati juga. Kalau tidak mati bentuk kerang hijau mengecil," tutur Yan.

Limbah di laut berangkat mulai dari Bogor masuk ke laut Jakarta. Yan membagi limbah minimal ke dalam tiga hal yang dinilai belum terselesaikan.

Pertama, limbah sampah. Kebiasaan buruk orang membuang sampah ke sungai berkontribusi terhadap pencemaran laut. Membuang sampah ke sungai atau kali seolah sesuatu yang wajar.

Kedua, limbah pupuk petani. Disinyalir limbah model ini baru akan terurai setelah 60 tahun. Ketiga, limbah yang berasal dari tempat pembuangan hajat atau kotoran warga pemukiman (kotoran rumah tangga), barangkali semacam E.Coli.

Berdasarkan pantauan KOMPAS.com di wilayah komunitas nelayan di Kali Adem, Muara Angke, tampak hasil penangkapan para nelayan tak terlalu meriah, termasuk untuk kerang hijau. Bahkan Kali Adem yang terkenal dengan kampung nelayan, sebagian penguninya sudah tidak lagi berprofesi sebagai nelayan. Misalnya penghuni Kali Adem bagian Blok M, mereka sudah beralih profesi menjadi tukang ojek, tukang bakso dan lain sebagainya. Begitulah nasib nelayan Muara Angke kini.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com