"Sejak dulu saya tidak pernah dengar ada warga yang mengeluhkan keberadaan gereja ini. Entah sejak kapan mulai ada yang seperti itu," kata Rukmono (71), salah satu warga lama di kawasan tersebut, Jumat (24/7/2015).
Menurut Rukmono, bangunan yang menjadi tempat ibadah tersebut semula merupakan rumah warga. [Baca: Pendeta GKPI: Segala Sesuatu Bisa Terjadi dalam 24 Jam]
Namun, setelah kepemilikan bangunan berpindah tangan, fungsinya pun ikut berganti. "Seingat saya, ini dulunya rumah biasa, terus dijual. Nah, yang beli lalu jadikan ini gereja," kata Rukmono.
Sementara itu, Agung (35), warga yang bermukim tepat di depan gereja, tidak terlalu protes dengan berdirinya rumah ibadah di depan kediamannya.
Menurut pria yang lahir pada tahun 1978 itu, sejak dulu, dia tidak terganggu dengan aktivitas ibadah jemaat gereja. "Saya sih enggak protes dengan adanya gereja, tetapi kadang-kadang (yang) parkir banyak banget. Jadi warga lain susah lewat karena ini kan gang kecil," ujarnya.
Saat ditanya mengenai persetujuannya jika gereja harus dibongkar, Agung menyerahkan keputusan itu kepada pemerintah. "Kalau saya sih, sesuaikan kebijakan dari pemerintah saja. Namun, kalau bisa, ada solusi terkait keputusan yang dibuat," ucap dia.
Sementara itu, warga lainnya, Wenti (43), tidak ambil pusing terkait rencana pembongkaran gereja oleh pemerintah. Wenti juga mengaku belum tahu, kapan rencana pembongkaran tersebut direalisasikan.
"Serius dibongkar? Saya belum tahu tuh. Pantas, sering ada yang datang pada hari biasa. Biasanya kan ramai tiap Minggu saja," ucap dia.
Sebelumnya, Wali Kota Jakarta Timur menegaskan bahwa bangunan yang dianggap ilegal itu harus segera dibongkar. Sebab, GKPI dinilai melanggar perda Provinsi DKI tentang izin mendirikan bangunan (IMB) dan peraturan bersama menteri agama dan mendagri tahun 2006 tentang pendirian tempat beribadah.