"Jadi, ada uang listrik sama air," kata Imas, Jumat (21/8/2015).
Dibanding tinggal di rusun, Imas lebih memilih menempati rumah warisan orangtua di pinggir Sungai Ciliwung. Meski kerap berhadapan dengan banjir, rumah tersebut baginya lebih nyaman dibanding di rusun.
"Sebenarnya lebih enak di sini. Sejelek-jeleknya juga rumah sendiri, enggak harus bayar. Banjir enggak jadi masalah soalnya suami sudah dari kecil tinggal di sini," ujar Imas.
Sementara itu, Rohmah (51), warga RT 09 RW 02 lainnya, juga mengutarakan hal senada. Wanita yang berprofesi sebagai pedagang daging keliling di Kampung Pulo itu keberatan dengan biaya sewa rusun.
"Dibilang berat ya berat, memang kita mau apa? Pasrah saja. Mau ngomong apa juga enggak bisa," ujar Rohmah.
Ketua RW 02 Kampung Pulo, Kamaludin, juga pernah menyampaikan bahwa warga Kampung Pulo sebagian besar adalah pedagang atau wirausaha. Ada yang mendirikan tempat dagang kaki lima dan berjualan di depan rumah, dan ada yang bekerja sebagai pedagang di Pasar Jatinegara. Relokasi pemerintah ke rusun, menurut dia, menghancurkan mata pencaharian warga.
Sementara itu, Nurdin (48) warga RT 04 RW 03 yang bekerja sebagai sopir di Pasar Jatinegara mengatakan, penghasilannya tak menentu.
Ada kalanya, saat ramai pelanggan yang mencarter sewa mobil, dia bisa mendulang rezeki. "Kalau lagi rame, sehari bisa Rp 200.000, tapi kalau lagi sepi, seminggu kita bisa enggak ada penghasilan," ujar Nurdin.
Menurutnya, sebagian besar warga Kampung Pulo berprofesi sebagian sebagai pedagang. Ada yang berjualan depan rumah seperti membuka warung kopi dan gorengan, ada pula yang menjadi kuli di pasar.
"Nah, jadi kuli itu juga enggak nentu. Paling jago sehari dia dapat Rp 80.000. Kalau lagi sepi syukur-syukur bisa dapat Rp 15.000 sampai Rp 20.000," ujar Nurdin.
Sehingga dirinya mengatakan, biaya sewa rusun Rp 300.000 perbulan, ditambah sewa listrik dan air, dirasanya memberatkan. "Kalau bisa gratisnya jangan tiga bulan, tapi dua tahun," ujar Nurdin.
Menurut pantauan Kompas.com, warga Kampung Pulo yang bermukim sekitar 15 meter dari bibir Sungai Ciliwung sudah mulai mengosongkan tempat tinggal mereka.