Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Krishna Murti tentang Lima "Mafia" Kalijodo

Kompas.com - 10/02/2016, 20:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Main bakar! Itulah ciri yang selalu dipertontonkan para pelaku tindak kekerasan setiap kali terjadi perang antargeng di Kalijodo.

Peristiwa 22 Februari 2002 dini hari, tulis harian Kompas,4 Maret 2002, bukanlah yang pertama. Sebelumnya, skalanya disebut kecil, hanya satu-dua rumah.

Pada saat itu, karena jumlah rumah yang terbakar mencapai ratusan, barulah aparat pemerintah daerah dan keamanan tampak peduli.

Itu pun sebatas membongkar semua bangunan yang setiap orang tahu jelas melanggar peraturan karena didirikan di atas bantaran dan tanggul banjir kanal dan Kali Angke, yang masih berlangsung hingga Kamis (28/2/2002).

Dengan tindakan itu, aparat berharap, Kalijodo "bersih" dari pelanggaran-pelanggaran lainnya, yakni perjudian dan pelacuran. Pelanggaran tanpa pernah atau memang tidak bisa ditindak.

Mengapa? Soalnya, Kalijodo telah memiliki penguasa sendiri.

"Mirip mafia," kata Krishna Murti saat itu yang menjabat sebagai Kapolsek Penjaringan, Jakarta Utara.

Kala itu, Krishna menyebut, terdapat lima bos besar di situ, yakni Riri yang bergandengan dengan Agus, H Usman, Aziz, Bakri, dan Ahmad Resek. Mereka mengaveling Kalijodo sebagai daerah kekuasaan mereka.

Menurut Krishna Murti, para bos itu tidak mengelola perjudian. Mereka hanya menyediakan tempat dan menerima sewa dari operator judi yang adalah etnis Tionghoa sekaligus menjamin keamanan berlangsungnya perjudian. Artinya, tidak akan diganggu oleh siapa pun, aparat, apalagi organisasi massa.

Untuk menjamin keamanan di lapangan, setiap bos mempekerjakan "tenaga keamanan" dalam jumlah yang cukup besar.

Menurut catatan Polsek Penjaringan kala itu, paling banyak adalah "anak buah" H Usman, sedikitnya 500 orang. Lainnya antara 200-300 orang.

Maka dari itu, di Kalijodo, terdapat sedikitnya 1.000 "tenaga keamanan" yang siap melakukan apa saja bila ada yang mencoba mengganggu perjudian di situ. Upah rata-rata setiap "anggota keamanan" sebesar Rp 30.000 per malam.

Menurut Krishna Murti, para "tenaga keamanan" itu umumnya datang dari luar Jakarta, misalnya dari Banten dan Makassar atau daerah lain di Sulawesi.

Ke Jakarta mencari pekerjaan, tetapi setelah lama tidak mendapat pekerjaan, mereka akhirnya "melapor" ke Kalijodo, kepada teman-teman mereka satu daerah yang sudah lebih dulu bergabung dengan bos dari daerah yang sama.

"Tidak ada sistem rekrutmen di situ," kata Krishna.

Mereka yang mau bergabung diterima saja tanpa ikatan dan mendapat bayaran. Bila satu saat seseorang memutuskan untuk berhenti, bisa karena mendapat pekerjaan lain atau pulang ke kampungnya, dia tidak akan dihalang-halangi.

"Begitulah terjadinya pengumpulan massa di Kalijodo," kata Krishna Murti.

Sewa "kaveling berikut keamanannya", kala itu, antara Rp 10 juta hingga Rp 20 juta per malam, bergantung pada luas "kaveling" dan jumlah "tenaga keamanan" yang menjadi satu paket dalam sistem sewa-menyewa tersebut. Sewa tertinggi diterima H Usman, yakni Rp 20 juta per malam.

Dengan penghasilan sebesar itu, salah satu bos, Azis, membangun satu gedung permanen empat lantai di tepi Kali Angke.

Bangunan itu hampir rampung, tetapi Azis keburu ditangkap polisi karena menodong Krishna Murti di lokasi saat Kepala Polsek Penjaringan itu memimpin anak buahnya melakukan penertiban. Azis kemudian ditahan di Polres Jakarta Utara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

4 Tersangka Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior Terancam 15 Tahun Penjara

4 Tersangka Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior Terancam 15 Tahun Penjara

Megapolitan
Pemerataan Air Bersih di Jakarta, Mungkinkah?

Pemerataan Air Bersih di Jakarta, Mungkinkah?

Megapolitan
Begini Peran 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Begini Peran 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Megapolitan
Bertambah 3, Kini Ada 4 Tersangka Kasus Penganiayaan Taruna STIP hingga Tewas

Bertambah 3, Kini Ada 4 Tersangka Kasus Penganiayaan Taruna STIP hingga Tewas

Megapolitan
Polisi Tak Ingin Gegabah dalam Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Polisi Tak Ingin Gegabah dalam Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Megapolitan
Polisi Bantah Senior Penganiaya Taruna STIP hingga Tewas adalah Anak Pejabat

Polisi Bantah Senior Penganiaya Taruna STIP hingga Tewas adalah Anak Pejabat

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta 9 Mei 2024 dan Besok: Tengah Malam ini Cerah Berawan

Prakiraan Cuaca Jakarta 9 Mei 2024 dan Besok: Tengah Malam ini Cerah Berawan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Cerita Eks Taruna STIP soal Lika-liku Perpeloncoan oleh Senior | Junior di STIP Disebut Wajib Panggil Senior dengan Sebutan “Nior”

[POPULER JABODETABEK] Cerita Eks Taruna STIP soal Lika-liku Perpeloncoan oleh Senior | Junior di STIP Disebut Wajib Panggil Senior dengan Sebutan “Nior”

Megapolitan
Rute Transjakarta 10A Rusun Marunda-Tanjung Priok

Rute Transjakarta 10A Rusun Marunda-Tanjung Priok

Megapolitan
Rute KA Cikuray, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Cikuray, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
Bantah Pernyataan Ketua STIP soal Tak Ada Lagi Perpeloncoan, Alumni: Masih Ada, tapi pada Enggak Berani Berkoar

Bantah Pernyataan Ketua STIP soal Tak Ada Lagi Perpeloncoan, Alumni: Masih Ada, tapi pada Enggak Berani Berkoar

Megapolitan
Remaja Tusuk Seorang Ibu di Bogor Hingga Pisau Patah

Remaja Tusuk Seorang Ibu di Bogor Hingga Pisau Patah

Megapolitan
Jukir Liar Minimarket Ikhlas “Digusur” Asal Pemerintah Beri Pekerjaan Baru

Jukir Liar Minimarket Ikhlas “Digusur” Asal Pemerintah Beri Pekerjaan Baru

Megapolitan
Warga Bekasi Tewas Tertabrak Kereta di Kemayoran karena Terobos Palang Pelintasan

Warga Bekasi Tewas Tertabrak Kereta di Kemayoran karena Terobos Palang Pelintasan

Megapolitan
Manjakan Lansia, Asrama Haji Embarkasi Jakarta-Bekasi Tak Lagi Pakai Tempat Tidur Tingkat

Manjakan Lansia, Asrama Haji Embarkasi Jakarta-Bekasi Tak Lagi Pakai Tempat Tidur Tingkat

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com