Di bawah terik matahari dan paparan debu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Nur (42) mengendarai sepeda ontelnya. Berbagi jalan dengan truk-truk besar yang mengangkut barang dari dan menuju gudang penimbunan barang bukan masalah bagi pria kurus tersebut.
Nur adalah pengojek sepeda yang bertahan mencari penghasilan di Pelabuhan Sunda Kelapa. Meski pelabuhan tak seramai 5-10 tahun lalu, ditambah perkembangan ojek motor berbasis aplikasi, eksistensi ojek sepeda belum habis, bahkan masih menjadi moda andalan.
Saat ini ada sekitar 15 ojek sepeda mangkal di tiga pos berbeda, dua di dekat gerbang dan satu di dalam pelabuhan. Pengguna jasa ojek ialah pegawai kantor di pelabuhan, awak kapal, hingga buruh angkut. "Di hari-hari biasa bisa antar 15-20 orang," ujar Nur, pekan lalu.
Nur mengatakan, berkembangnya ojek daring membuat pengguna jasa ojek sepeda di Sunda Kelapa berkurang. Namun, ongkos yang murah membuat ojek sepeda tetap dipilih sebagai moda utama keluar-masuk pelabuhan sepanjang sekitar 1 kilometer itu.
Dari gerbang ke dalam pelabuhan, ongkosnya Rp 5.000-Rp 10.000, bergantung jarak yang ditempuh. "Kalau dari gerbang sampai ujung pelabuhan biasanya Rp 7.000, tetapi banyak yang memberi lebih. Jarak dekat Rp 5.000," kata Nur, yang mengojek sepeda sejak 2008.
Dalam sehari, Nur bisa mengantongi minimal Rp 70.000. Jika sedang ramai, pendapatan pria asal Kebumen, Jawa Tengah, tersebut mencapai Rp 100.000. Selain untuk makan, sisa uang dia tabung untuk ditransfer setiap minggu ke istrinya di kampung halaman.
Jalan-jalan di Kota Tua
Pengojek lainnya, Dede (37), memiliki lima pelanggan. Jumlah pendapatannya terbantu oleh para langganan itu. "Kalau hanya mangkal dan menunggu yang butuh, susah," ucap Dede.
Para langganan tersebut umumnya pegawai kantoran yang meminta diantar untuk berbelanja berbagai keperluan di pertokoan yang letaknya di luar pelabuhan. Dihubungi lewat telepon seluler, Dede sigap mengantar jemput pelanggannya.
Sementara Mansyur (41) menuturkan, para anak buah kapal di pelabuhan kerap kali minta diantar untuk jalan-jalan ke Kota Tua dengan tarif Rp 15.000. Dia juga kerap mengantar para nakhoda kapal yang hendak pulang kampung ke sejumlah daerah membeli tiket pesawat.
Salah seorang pengguna jasa ojek sepeda adalah Sunarya (52), yang sehari-sehari bekerja sebagai pekerja di Gudang 4 Pelabuhan Sunda Kelapa. Menurut dia, tarif ojek sepeda sangat terjangkau dan cukup membantu ketika sedang dikejar waktu.
"Kalau saya mau pulang ke Karawang, membawa barang, capek juga jalan kaki sampai gerbang. Adanya ojek sepeda jelas meringankan," kata Sunarya.
Sementara itu, Sarjaya (45), buruh angkut barang di Pelabuhan Sunda Kelapa, menilai, ojek sepeda lebih diminati karena kebanyakan sama-sama berasal dari daerah di luar Jakarta. "Jadi lebih enak. Lama-lama jadi kenal," ucapnya.
Bagus dari Humas PT Pelindo II Cabang Pelabuhan Sunda Kelapa mengatakan, pihaknya tidak pernah melarang ojek sepeda beroperasi di pelabuhan. Namun, ada beberapa area yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Saat ini, Pelabuhan Sunda Kelapa sedang dalam penataan. Sekitar dua tahun mendatang, tidak ada lagi perkantoran di dalam pelabuhan.
Kendati demikian, hal itu diharapkan tidak benar-benar melenyapkan ojek sepeda yang bernilai historis. Bisa jadi ojek sepeda dikembangkan layaknya rickshaw, becak yang ditarik manusia yang kini menjadi salah satu atraksi wisata untuk turis di Singapura dan Hongkong.
(C03)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juli 2016, di halaman 26 dengan judul "Romantisisme Angkutan Lingkungan Sunda Kelapa".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.