JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli kriminologi dari Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa, yang bersaksi dalam sidang untuk mengadili Jessica Kumala Wongso, meragukan metode fisiognomi atau ilmu membaca karakter seseorang lewat wajah.
Hal itu diungkapkan Eva dalam sidang lanjutan kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (19/9/2016).
"Fisiognomi itu tidak relevan lagi sekarang. Termasuk soal analisis terhadap gestur, itu sudah tidak dipakai lagi," kata Eva di hadapan majelis hakim.
Kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, lantas menyinggung pernyataan saksi terdahulu, yaitu Kriminologi UI Profesor Ronny R Nitibaskara. Dalam kesaksiannya, Ronny mendasarkan pendapatnya pada fisiognomi dan analisis gestur Jessica yang ditampilkan melalui CCTV kafe Olivier.
"Menurut pengalaman ahli, apakah pernah menemukan keputusan hakim berdasarkan fisiognomi? Juga, apakah analisis gestur jadi pilihan?" tanya Otto.
"Tidak pernah. Dalam literatur, pernah ada fisiognomi dipakai jaksa di Amerika, tapi hasil itu akhirnya juga dianggap tidak valid," jawab Eva.
Secara terpisah, jaksa penuntut umum mempertanyakan tentang perspektif yang digunakan Eva dalam memberi kesaksiannya. Secara umum, ada dua perspektif yang digunakan seorang kriminolog, yakni perspektif makro dengan pendekatan sosiologi dan antropologi, dan perspektif mikro dengan pendekatan psikologi.
Sementara Eva menggunakan perspektif makro. Hal itu membuat Eva tidak dapat menjelaskan ketika ditanya spesifik mengenai kasus yang dialami Jessica.
Eva memerlukan pembanding dua atau tiga lebih kasus serupa untuk mencari tahu apakah perbuatan kriminal tersebut merupakan hal yang dapat dia jelaskan atau tidak.
Melalui kesaksian Eva, Otto menilai, penilaian Ronny terhadap Jessica di sidang sebelumnya tidak dapat digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam membuat keputusan. Meski begitu, hasil akhir soal putusan terhadap Jessica tetap ditentukan oleh majelis hakim.