Fitra bahkan menilai kenaikan pajak tersebut sebagai bentuk aksi pengusiran yang hendak dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap warga menengah ke bawah.
"Kenaikan pajak baru PBB ini betul-betul tidak humanis dan tidak manusiawi, dan penguasa baru di Jakarta ini bak seorang penjajah baru yang ingin mengusir warga dari tempat tinggalnya," kata Koordinator Fitra Uchok Sky Khadafy kepada Kompas.com, Kamis (16/10/2014).
Uchok menilai kenaikan pajak sejauh ini tak berdampak pada adanya perbaikan infrastruktur. Terbukti, kata dia, masih banyak halte, jembatan penyeberangan, trotoar, maupun angkutan umum yang sampai saat ini tak kunjung dibenahi setelah dua tahun era pemerintahan Gubernur Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya, Basuki Tjajaja Purnama (Ahok).
"Infrastuktur jalannya juga jelek. Permukaan aspalnya bergelombang, dan baru diperbaiki langsung terkelupas. Jadi APBD Rp 72 triliun tak ada gunanya," papar Uchok.
Apalagi, kata dia, dalam dua tahun terakhir pemerintahan Jokowi Ahok selalu mengalami dua masalah terkait anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), yakni keterlambatan pengesahan APBD dan penyerapannya yang rendah.
"Artinya selama dua tahun pemerintahan Jokowi-Ahok di Jakarta, ada dua penyakit yang sampai saat ini tidak bisa disembuhkan. Pertama, keterlambatan pengesahaan APBD dan penyerapan anggaran yang terlalu minim," tukas dia.
Tingginya PBB di DKI Jakarta pada tahun ini merupakan akibat dari penyesuaian nilai jual obyek pajak (NJOP) yang ditetapkan Pemprov DKI. Kenaikan NJOP di Jakarta bervariasi disesuaikan dengan lokasi wilayah, mulai dari 120 persen hingga 240 persen.
Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, Jokowi menginginkan PBB menjadi sektor pajak daerah yang menjadi unggulan.
Jokowi, kata Iwan, mengubah besaran NJOP karena selama empat tahun, NJOP tidak naik. Besaran NJOP yang tetap dalam empat tahun tidak sesuai dengan fakta bahwa harga pasar sudah melonjak cukup signifikan.
"Kenaikan NJOP berakibat kenaikan PBB, bagi yang keberatan, bisa mengajukan permohonan keringanan. Namun, sebenarnya NJOP yang baru masih di bawah harga pasar sesungguhnya di lapangan," ujar Iwan pada Maret 2014.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.