Bus transjakarta jurusan Harmoni-Pulogadung melaju dengan kecepatan sedang membelah wilayah Jakarta Pusat-Jakarta Timur, Selasa (9/12) siang. Siang itu, bus terisi hampir penuh.
Suara ngik-ngik-ngik... saling bersahutan memecah keheningan dalam bus yang terus melaju. Suaranya semakin nyaring saat bus melewati beberapa jalan rusak di jalur trasnjakarta. Suara itu datang dari bagian bawah kursi penumpang yang sudah mulai keropos.
Sebagian penumpang juga merasa gerah karena sistem pendingin ruangan nyaris tak terasa. ”Bunyinya sangat mengganggu. Tidak nyaman. Kursi bergoyang bikin kepala pusing. Gerah karena AC-nya hanya fan. Jadi, enggak bisa tidur dalam bus,” ujar Amelia Sherlita (19), mahasiswi Universitas Trisakti, salah satu penumpang bus siang itu.
Tempat duduk karatan dan AC yang tak dingin hanyalah sebagian dari buruknya pelayanan transjakarta saat ini.
Belum sesuai harapan
Permasalahan bus transjakarta ini juga mengemuka dalam dialog publik bertajuk ”Transisi Pengelolaan Transjakarta dan Peningkatan Mutu Pelayanan”, di Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti, Jakarta Timur, Kamis (11/12).
Koordinator Komunitas Suara Transjakarta David Tjahjana mengatakan, penumpang mengharapkan keterangkutan, keamanan, dan kenyamanan saat menggunakan bus transjakarta.
Dari segi keterangkutan, masih sering terlihat penumpukan penumpang di hampir semua halte pada jam-jam sibuk. Unit Pelaksana Transjakarta berusaha mengatasi masalah keterangkutan itu dengan menghadirkan bus APTB (2010) dan transjabodetabek (2014) dari sejumlah wilayah se-Jabodetabek.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, kehadiran APTB dan transjabodetabek justru menambah beban pada jalur transjakarta. Penumpukan penumpang masih tetap terjadi karena penumpang yang akan naik APTB diwajibkan membayar tarif tambahan.
”Harus bayar dua kali. Bayar tiket bus transjakarta sebesar Rp 3.500 dan ditambah tiket APTB sebesar Rp 10.000,” ujar Sherly Tambayong (23), karyawan swasta di kawasan Harmoni. Sherly yang tinggal di Jalan Fatmawati itu memilih naik APTB karena tak tahan menunggu kedatangan bus transjakarta yang waktu kedatangannya kian tak menentu.
”Kadang 45 menit baru datang satu bus,” ujarnya. Padahal, dalam rancangan awal bus transjakarta, waktu tunggu bus hanya 10-15 menit.
David mengatakan, masalah-masalah seperti tarif tambahan itu muncul akibat integrasi pelayanan belum menyeluruh. Seharusnya, kata David, PT Transjakarta memikirkan manajemen secara keseluruhan sehingga penumpang tak lagi membayar tarif tambahan.
David juga memaparkan, sejumlah fasilitas keselamatan bus transjakarta yang tidak standar. ”Saya menemukan beberapa bus yang pintu daruratnya dilas mati. Kalau terjadi kondisi darurat, tentu akan membahayakan penumpang,” kata David.
Pemberlakuan tiket elektronik juga menyisakan masalah karena masih ada dua koridor yang belum memakai tiket elektronik, yakni Koridor 4 dan 6, karena ada persoalan kontrak.