Temuan tersebut dipaparkan setelah penyidik dari Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya melakukan penyelidikan di lapangan mengenai kasus dugaan korupsi pengadaan genset sebesar Rp 31,5 miliar.
Dari pengecekan di lapangan, penyidik menemukan perbedaan kualifikasi genset. Pada Kerangka Acuan Kerja (KAK) ditetapkan genset tersebut sebesar 28 Kwh. "Terpasangnya 22 Kwh," kata Kasubdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ajie Indra Dwi Atma di ruangannya, Jakarta, Rabu (24/6/2015).
Ajie menambahkan, dugaan korupsi tersebut dilihat dari selisih daya genset sebanyak 6 Kwh. Dengan asumsi harga 1 Kwh dipasar yakni sebesar Rp 3 juta, maka negara menderita kerugian Rp 18 juta per satu genset atau Rp 9.720.000.000 secara keseluruhan.
Akibatnya, fungsi genset juga tidak optimal. Seharusya genset tersebut dapat beroperasi dalam waktu 12 jam, namun nyatanya hanya bisa terpakai kurang dari empat jam.
"Di Jateng (Jawa Tengah) tiga jam tidak mampu (berfungsi lagi)," kata Ajie.
Diketahui, sumber dana pengadaan mesin genset itu adalah dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2013 senilai Rp 31,5 miliar. Pengadaan tersebut adalah untuk mengakomodasi lima provinsi di Indonesia, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.
Berdasarkan fakta di lapangan dan analisa dokumen kontrak serta diskusi dengan ahli dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) DKI Jakarta dan ahli Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Pemerintah (LKPP), dapat disimpulkan telah terjadi proses administrasi di luar prosedur dalam lelang dan terjadi mark up.