Dua layanan jasa transportasi umum berbasis aplikasi yang dipandang berbeda yakni, Go-Jek dan Taksi Uber. Perbedaannya pada aspek sosial kebutuhan masyarakat.
"Go-Jek aspek sosialnya agak beda karena Go-Jek ini segmennya beda," kata Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian di Jakarta, Jumat (4/9/2015).
Jika ojek berbasis aplikasi ini ditertibkan maka berimbas pada ojek pangkalan di seluruh Indonesia. Pasalnya, sampai saat ini belum ada aturan mengikat mengenai sepeda motor sebagai angkutan umum.
Sementara untuk taksi Uber, menurut Tito, aspek paling kentara lebih besar yakni pelanggaran hukumnya. Aspek sosial, dalam hal ini kebutuhan masyarakat terhadap taksi Uber tidak besar.
"Aspek pelanggaran hukum lebih banyak," kata Tito.
Jika tak mau terus dianggap melanggar, Tito menyarankan pihak Uber untuk mengurus izin sesuai di Indonesia. Sehingga perusahaan taksi legal di Indonesia tidak merasa dirugikan dengan keberadaan Uber.
"Karena kita lihat ada aspek pelanggaran hukum terhadap rekan-rekan Uber. Pelanggaran hukum ini yang kemudian bisa berakibat buruk terhadap taksi-taksi yang legal," kata Tito.
Taksi Uber dikenai pelanggaran tiga pasal peraturan perundang-undangan, meliputi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003, dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1.026 Tahun 1991.
Peraturan-peraturan tersebut mengatur bahwa setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan untuk umum dengan dipungut bayaran baik langsung atau tidak langsung wajib membawa STNK, tanda bukti lulus uji (kir), tanda bukti kartu izin usaha, kartu pengawasan, dan atau kartu pengawasan izin operasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.