JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, dari April 2015 hingga Mei 2016, ada 40 kasus pemerkosaan secara berkelompok atau "gengrape" yang terjadi di seluruh Indonesia. 90 persen pelaku merupakan remaja laki-laki dengan 100 persen korban merupakan remaja perempuan.
Pelaku kejahatan seksual, hampir 16 persen dilakukan oleh anak berusia 14 tahun, sedangkan 15 persen korban tindak kekerasan seksual berusia 12 tahun atau lebih muda, dan 29 persen korban berusia 12-17 tahun.
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku di bawah umur itu bukanlah karena ikut-ikutan. Ia menyebut pelaku sudah berhasrat dan berani untuk melakukan tindakan itu karena dilakukan secara bersama-sama.
Besar kemungkinan pelaku merasa jika melakukan bersama dengan kelompoknya, maka kesalahan akan ditanggung bersama, dan itu menimbulkan keberanian yang lebih untuk melakukan kejahatan seksual. Belum lagi, kata Arist jika mereka mengkonsumi pornografi atau obat-obatan, yang bisa membuat pelaku sulit mengendalikan dirinya.
"Semakin dia mengkonsumsi apa yang dia lihat, semakin ada inisiatif. Apalagi kalau dia mengkonsumi narkoba atau pornografi secara bersama-sama, kontrol dirinya hilang. Dia menganggap bahwa dengan berkolompok, dia share terhadap kesalahannya," ujar Arist di Slipi, Jakarta Barat, Jumat (17/6/2016).
Berbagai pemicu terjadinya kejahatan seksual secara berkelompok menurutnya berasal dari mengonsumsi minuman keras, narkoba, hingga menonton tayangan pornografi.
Arist juga menyebut faktor ekonomi juga sangat mempengaruhi tindakan kekerasan seksual berkelompok itu dilakukan. Menurut Arist, kejadian pemerkosaan yang dilakukan secara berkelompok cukup sering ditemukan di pedesaan.
Kejadian itu menurutnya bermula ketika seorang warga tidak memiliki pekerjaan dan, kemudian dia mendiskusikan sebuah kegiatan yang dikerjakan bersama dengan kelompoknya.
Menurut catatan Komnas PA, daerah wisata di tanah air kerap dimanfaatkan sebagai tempat pelaku tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh wistawan asing. Arist mengatakan sejumlah daerah wisata di tanah air seperti Bali, Lombok, Batam, merupakan tempat wisata yang paling banyak dikunjungi pelaku kejahatan seksual seperti pelaku pedofilia.
Menurut Arist, pelaku pedofilia yang datang, menyasar sejumlah daerah di tempat wisata yang mayoritas masyarakatnya berekonomi rendah. Dari data Komnas PA, salah satu tempat wisata, seperti di Bali, mayoritas pelaku paedofilia berasal dari Belanda, Australia, dan Italia.
Terkait Undang-Undang Perlindungan Anak, Komnas PA menilai UU itu belum cukup untuk melindungi korban. (Baca: Ini Kasus "Gengrape" yang Melibatkan Anak di Bawah Umur)
Salah satu contoh kasus yang memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap anak yakni vonis ringan yang dijatuhkan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap terdakwa kasus percabulam Saipul Jamil.
Menurut Arist, vonis itu jelas memperlihatkan bahwa tidak ada perlindungan hukum bagi korban anak di bawah umur. Mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak, kata Arist, tidak ada hukuman di bawah lima tahun penjara. Yang ada adalah hukuman minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun.
Merespons banyaknya tindakan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, Komnas PA telah membentuk sebuah kelompok bernama reaksi cepat tanggap. Kelompok ini yang nantinya akan mengawasi setiap tindakan pelecehan seksual yang ada di daerah-daerah di tanah air. (Baca: Komnas PA: Mayoritas Remaja Laki-laki Jadi Pelaku "Gengrape")
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.