JAKARTA, KOMPAS.com – Sentra kuliner nusantara yang berlokasi di Jalan Lapangan Tembak, Senayan, direncanakan tutup pada 28 Februari 2016.
Setelah 24 tahun berdiri, para pedagang merasa berat untuk meninggalkannya. Kenangan datang dari mulai kedekatan dengan para pedagang, sampai tamu langganan.
“Rasanya seperti berasal dari satu kampung. Inilah Kampung Lapo Senayan,” ujar Balkis, pengelola rumah makan khas Jakarta Haji Saleh Kumis, Selasa (17/1/2017).
Kampung Lapo Senayan, begitu Balkis menyebutnya, karena kedekatan yang terbangun. Mereka hidup rukun selama 24 tahun. Meskipun, kata Balkis, banyak rumah makan menyajikan menu sama, pun lokasinya hanya bersebelahan.
“Tak pernah sekali pun kami bertengkar mempermasalahkan itu. Dari dulu kami semua berpikir rezeki sudah ada yang mengatur,” ucapnya.
Pertemanan semakin kuat saat dibentuk organisasi antar-pedagang. Mereka menyebutnya Paguyuban Pedagang Pujasera Senayan. Meskipun tak ada waktu khusus yang disepakati untuk rutin bertemu, organisasi jalan sebagaimana mestinya.
“(Organisasi) ini kami buat untuk mengurusi banyak hal. Salah satunya mengumpulkan uang kas. Uang yang dianggarkan tak besar, tetapi berguna,” ujar Betty Asnalia Simangunsong, pengelola RM Medan Ria Senayan.
Uang yang terkumpul, kata Betty, bisa digunakan untuk banyak hal. Misal, untuk membantu pengobatan salah satu pekerja atau keluarganya yang sakit.
Pekerja yang dimaksud, kata Betty, bukan hanya yang berkesibukan di rumah makan, melainkan juga petugas parkir yang setiap harinya mengatur tata kendaraan di halaman sentra kuliner nusantara itu.
“Kami semua akrab,” ujarnya.
Sekarang, paguyuban tak hanya mengurusi uang kas. Tugasnya bertambah seiring kabar akan ditutupnya kawasan itu per 28 Februari 2017. Para pengurus berusaha bernegosiasi dengan pihak pengelola.
Mengamini hal itu, Farida Hanum Siagian, pengelola Lapo Siagian Boru Tobing, mengatakan, saking guyubnya, tak pernah ada rasa iri saat rumah makan lain terlihat ramai pada saat rumah makan sendiri sepi pelanggan.
“Untuk rumah makan berjenis sama, bahkan kami suka bertukar bahan makanan kalau ada yang habis. Ya begitu, kami seperti saudara,” kata dia.
Sekarang, ingatan-ingatan itu hampir tinggal kenangan seiring ingatan lain, terutama soal pelanggan.
“Rumah makan ini bagian dari masa kecil saya. Namun, yang paling dirindukan itu adalah pelanggan,” ujar Farida.