Satu di antaranya yakni Gedung Perusahan Film Negara (PFM) yang berada di Jalan Otto Iskandardinata 125-127 Bidaracina, Jakarta Timur.
PFM memiliki peran cukup besar bagi sejarah dunia perfilman di Indonesia. Perusahaan yang dibangun pertama kali dengan nama Java Pacific Film (JPF) ini didirikan oleh Albert Balink.
"Sudah berdiri sejak 1938, lokasinya tidak pernah berubah sudah ada di sini sejak zaman Belanda," kata Humas dan CSR PFN Bagus Hartawan saat ditemui Kompas.com, Rabu (20/12/2017).
JPF mengalami beberapa pergantian nama sebelum akhirnya menjadi PFN pada 1975. Pasca-kemerdekaan, PFN menghasilkan banyak karya film hingga awal periode 1990-an.
"Banyak film yang sudah lahir dari PFN, salah satu yang waktu itu ramai ya serial boneka Si Unyil yang dulu tayang di TVRI," ucap Bagus.
Bagus menyampaikan, pada eranya, PFN menjadi perusahaan yang sudah menggunakan peralatan modern.
Bahkan, dengan kantor seluas 2,5 hektar, PFN pernah menyandang gelar perusahaan film yang memiliki studio lab terbesar di Asia pada eranya.
Meski saat ini masih memproduksi film, kata Bagus, PFN lebih banyak menggandeng pihak ketiga untuk bekerja sama. Sejauh ini, menurut dia, PFN telah memproduksi ribuan film.
"Semua film itu sudah kita serahkan ke gedung arsip, kalau tidak salah ada 4.000-an judul film di sana," kata dia
Selain Gedung PFN, ada beberapa gedung atau bangunan yang diusulkan sebagai cagar budaya di Jakarta Timur, yakni Panti Asuhan Van der Steur dan Masjid Aasalfiyah.
Pelitasan di Kampung Keramat
Di samping bangunan yang diusulkan sebagai cagar budaya, di Jakarta Timur terdapat petilasan di Kampung Keramat, Kecamatan Kramatjati, Kelurahan Tengah.
Menurut Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta Timur Iwan Wardhana, petilasan tersebut juga diusulkan sebagai kandiat cagar budaya.
"Di sana itu ada bangunan, seperti pendopo, nah di dalamnya itu seperti ada sebuah batu atau prasasti yang katanya sudah lebih dari 300 tahun. Kita tidak masukkan ke dalam 47 kandidat bangunan karena perlu diteliti lebih dalam," ucap Iwan kepada Kompas.com, Selasa (19/12/2017).
Namun, kata Iwan, petilasan tersebut tidak memenuhi syarat cagar budaya menurut tim ahli cagar budaya yang ditetapkan Pemprov DKI.
"Katanya dulu ada tokoh masyarakat di sana lah yang punya ilmu, lalu dia menghilang di batu itu. Pesan dari orang itu kalau butuh apa-apa bilang saja sama batu ini, itu sih informasi di lapangannya," ucap Iwan.
Menurut warga di sekitar petilasan tersebut, banyak pengunjung yang mendatangi batu itu. Pengunjung tersebut datang dari luar Kramatjati. Kadang, pengunjung sampai menginap di lokasi petilasan tersebut.
"Di sana itu juga ada juru kuncinya, kebanyakan ke yang ke sana itu bilangnya ada berdoa, semedi, dan lain-lain lah," ucap Ican, warga yang berjualan di pasar yang ada di Kampung Keramat, Rabu (20/12/2017).
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/12/21/07043951/dari-gedung-film-hingga-petilasan-yang-diusulkan-jadi-cagar-budaya-di