"Menyatakan penyitaan kapal Equanimity berdasarkan surat perintah Polri tanggal 26 Februari 2018 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum. Membatalkan surat penyitaan Polri tanggal 26 Februari 2018. Menghukum termohon untuk mengembalikan kapal pesiar tersebut kepada pemohon," ujar Ratmoho.
Ratmoho menyampaikan hal tersebut saat membacakan putusan praperadilan kasus penyitaan kapal Equanimity dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (17/4/2018).
Dalam pertimbangannya, Ratmoho menyebut Polri seharusnya tidak menimbulkan perkara baru saat membantu Federal Bureau of Investigation (FBI) menemukan kapal Equanimity.
Polri, kata Ratmoho, seharusnya tidak menyita kapal Equanimity karena FBI belum membuktikan unsur tindak pidana yang berkaitan dengan kapal tersebut.
"Berdasarkan bukti, belum ada tindak pidana di negara asal si peminta sehingga walaupun ada hubungan baik antara Polri dan FBI, tidak serta merta Polri melakukan hal itu dan harusnya Polri melakukan pendalaman terlebih dahulu," kata Ratmoho.
Otoritas hukum Amerika Serikat mendeteksi kapal Equanimity masuk perairan Indonesia sejak November 2017. Mereka kemudian melakukan koordinasi dengan penegak hukum Indonesia untuk melakukan penyitaan kapal yang diduga hasil pencucian uang korupsi di Amerika itu.
Polri akhirnya mengamankan kapal pesiar senilai 250 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,5 triliun itu di Pelabuhan Benoa, Bali, pada 28 Februari 2018.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, Polri hanya diminta bantuan oleh FBI untuk menemukan kapal hasil kejahatan yang ditangani di Amerika Serikat.
Selama ini, ada nota kesepahaman antara Polri dan FBI untuk saling membantu dalam penanganan perkara yang berkaitan dengan kejahatan transnasional.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/04/17/19372771/pengadilan-perintahkan-polri-kembalikan-kapal-equanimity-yang-disita-di