Suharyo menilai, tidak pantas insiden yang menelan banyak korban jiwa itu dijadikan alat politik pihak tertentu untuk mendapatkan kekuasaan.
"Dalam rangka tahun politik pasti suhu akan meningkat. Kami semua minta kepada para pemimpin politik, tokoh politik, tokoh kemasyarakatan, tokoh agama yang ingin berkompetesi mencari kekuasaan, jabatan, mohon jangan pernah menggunakan sentimen agama untuk mencapai tujuan entah itu jabatan entah itu kekuasaan entah itu apapun," ujar Suharyo di Kompleks Gereja Katedral, Jakarta Pusat, Senin (14/5/2018).
Pernyataan yang disampikan Suharyo juga tertuang dalam pernyataan sikap bersama tokoh lintas agama tentang teror di Surabaya. Pernyataan sikap itu ditandatangani oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Konfrensi Wali Gereja Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, Muslimat Nahdlatul Ulama, dan Lembaga Persahabatan Ormas Islam.
Dalam pernyataan itu juga, para pemimpin agama mengimbau seluruh masyarakat untuk tidak berspekulasi serta terprovokasi isu yang menyebutkan bahwa pengeboman di Surabaya berasal dari latar belakang agama tertentu.
Dalam pernyataannya juga, tokoh lintas agama berharap agar masyarakat memercayakan penanganan tindakan terorisme di Surabaya kepada institusi kepolisian yang memiliki kewenangan penuh untuk mengungkap kasus tersebut.
"Mendesak dan sekaligus mendukung sepenuhnya upaya dan langkah-langkah pemerintah dan aparat keamanan untuk mengusut secara tuntas motif, pola, dan gerakan yang memicu terjadinya perisitiwa itu. Gerakan terorisme itu sudah semakin merajalela, maka diperlukan penanganan khusus dan eksra intensif," ujar Suharyo.
Ledakan yang terjadi di tiga gereja di Surabaya Minggu kemarin menewaskan belasan jemaat yang sedang ingin beribadat. Pelaku pengeboman diketahui berasal dari satu keluarga.
Ledakan juga terjadi di Polrestabes Surabaya pada Senin pagi tadi.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/14/15241461/teror-bom-di-surabaya-jangan-dijadikan-komoditas-politik