Banyaknya korban mejadikan dua musisi kenamaan Indonesia, Iwan Fals dan Ebiet G Ade, mengenangnya dalam sebuah lagu. Selain itu, tragedi ini juga pernah dijadikan film pada 1989 dengan judul Tragedi Bintaro, besutan sutradara Buce Melawau.
Terlepas dari itu, masih banyak cerita atau kisah mengenai peristiwa ini bisa terjadi. Hal yang menjadi sorotan adalah kelalaian petugas stasiun yang membolehkan masinis untuk menjalankan kereta api.
Berbagai masalah
Harian Kompas edisi 20 oktober 1987 menjelaskan bahwa KA 225 dan KA 220 merupakan kereta buatan Henschel, Jerman.
Masing-masing kereta memiliki bobot yang hampir sama, yaitu berkisar 90 ton. Selain itu, keduanya menarik tujuh rangkaian gerbong yang masing-masing 35 ton.
Ketika peristiwa terjadi, KA 225 banyak membawa penumpang yang umumnya adalah karyawan yang bekerja di Jakarta. Mereka tak tahu bahwa nantinya kereta yang ditumpangi akan saling bertabrakan.
Permasalahan lain adalah, banyaknya penumpang yang menaiki kereta tak pada tempatnya. Artinya, mereka naik dan menempati di sisi luar gerbong, atap, dan bahkan di ruangan masinis pada lokomotif utama.
Dalam sebuah catatan Harian Kompas, banyak orang yang menaiki kereta di atap dan tak menggunakan kursi yang disediakan. Mereka lebih nyaman berada di luar.
Kondisi ini mengakibatkan ketidaknyamanan dan mengurangi keselamatan dalam perjalanan itu. Kereta api terpaksa berjalan hingga tujuan dalam kondisi itu.
Lokasi kecelakaan yang berada di tingkungan juga menyebabkan kedua masinis di kereta itu tak saling melihat. Jarak antara keduanya juga sudah terlalu dekat, sehingga mereka tak bisa menghentikan lajur kereta.
Selain itu, pihak petugas palang pintu kereta juga tak mengetahui simbol genta yang menyebabkan kedua kereta itu berhadapan di rel yang sama.
Soal kecepatan, kereta baru bisa berhenti total sekitar 200 meter setelah direm mendadak. Sudah pasti ada usaha masinis untuk menghentikan laju kereta api, namun terdapat kendala karena peralatan rem yang digunakan sudah tua.
Gerbong penumpang kelas tiga itu buatan tahun 1965 dengan menggunakan sistem rem Westinghouse. Sistem ini menggunakan udara bertekanan tinggi untuk proses pengereman.
Sebenarnya sistem ini canggih saat baru dirilis, namun karena usianya cukup tua, sistemnya sudah tak berfungsi normal.
Ketika bertabrakan, gerbong pertama di belakang lokomotif terdorong ke muka dan "mencaplok" lokomotif di depannya. Dua lokomotif melengkung casisnya dan tertutup gerbong pertama yang diseretnya.
Harian Kompas pada 21 Oktober 1987 menjelaskan bahwa setelah peristiwa itu 15 orang petugas stasiun PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) mendapatkan pemeriksaan intensif. Setelah melalui proses yang lama, akhirnya petugas itu mendapatkan sanksi.
PPKA (Pemimpin Perjalanan Kereta Api) Sudimara disalahkan karena memberikan persetujuan persilangan kereta dari Sudimara ke Kebayoran tanpa persetujuan sebelumnya dari PPKA Kebayoran.
PPKA Stasiun Kebayoran juga disalahkan karena tak berkoordinasi lebih lanjut dengan Sudimara.
Masinis KA 225 dipersalahkan karena begitu menerima bentuk tempat persilangan langsung berangkat tanpa menunggu perintah PPKA dan kondektur.
.
.
.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/10/19/17250931/sejumlah-faktor-yang-menyebabkan-tragedi-bintaro-terjadi