"Tapi Grogol Petamburan sudah turun sejak Juni," kata Weningtyas di Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (29/11/2018).
Menurutnya, petugas pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di wilayahnya sudah bagus, tapi ia menilai kesadaran masyarakat masih kurang.
Tidak boleh ada tampungan air yang menjadi tempat nyamuk bersarang. Sebab, telur nyamuk dalam tampungan atau genangan air akan mudah muncul kurang selama kurang dari lima hari.
"Kemudian yaitu, lahan lahan kosong kan masih banyak. Nah, itu kan tidak berpenghuni, banyak kontainer tempat air dan ada jentik nyamuknya. Di Kalideres itu kan banyak, kan luas sekali itu," terangnya.
Agar menghindari adanya kasus DBD lainnya, Weningtyas mengatakan pihaknya berupaya dengan membentuk juru pemantau jentik (jumantik) di rumah tangga. Jumantik bertanggung jawab dalam membetantas nyamuk seperti 3M (menutup, menguras dan mengubur).
"Pertama, satu rumah satu jumantik atau self jumantik atau jumantik mandiri. Jadi setiap rumah harus mempunyai satu penanggung jawab sebagai jumantik," katanya.
Kedua, peran jumantik tak hanya dilakukan oleh satu orang dalam satu rumah tangga melainkan peran serta orang sekitar. Sebab, ia menilai sejumlah warga di Jakarta Barat tak berperan aktif dalam memberantas jentik nyamuk penyebab DBD sehingga membutuhkan pihak lain yang ikut serta.
"Nah, itu satpam setempat, satpam komplek kalau memang enggak ada sekali ya PPSU (petugas prasarana dan saranan umum) menjadi jumantik," katanya.
Selanjutnya, ia mengimbau kepada Camat, Lurah, RT atau RW untuk melakukan pendekatan persuasif kepada masyarakat agar menjaga lingkungannya. Khususnya, menghindari adanya genangan atau tampungan air yang berpotensi menjadi sarang nyamuk dan menyebabkan DBD.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/11/29/15365681/ada-3-titik-kasus-dbd-tertinggi-di-jakbar-jumantik-diterjunkan