“Kamu sukanya apa?” balas Putri.
“Aku suka minum kopi, sih,” timpal Adhika.
Secara kebetulan, Putri juga sempat berdiskusi dengan salah satu pebisnis kuliner pada 2017 lalu. Pebisnis tersebut “meramal” bahwa Putri bisa sukses dengan bisnis kopi.
Tanpa pikir panjang, kedua lulusan desain komunikasi visual di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta ini langsung bersepakat soal rencana bisnis kopi.
Bukan saja karena bisnis ini sedang menjamur belakangan ini, keduanya hendak menunggangi bisnis kopi untuk agenda yang lebih besar.
Putri dan Adhika lantas menggenapi skuad mereka dengan mengajak Tri Erwin Syah Putra (27) bergabung.
Walaupun tak satu almamater dengan Erwin yang kuliah di Universitas Negeri Jakarta, ketiganya merupakan sahabat semasa kecil di TL Santi Rama, Jakarta Pusat.
TL merupakan kependekan dari Taman Latihan, setingkat TK (taman kanak-kanak) bagi anak-anak disabilitas.
Putri, Adhika, dan Erwin memang penyandang tunarungu. Namun, keterbatasan ini gagal tak menghambat mereka menggapai mimpi membangun bisnis kopi.
Mereka langsung berguru kepada pebisnis tadi soal dasar-dasar bisnis kopi.
Mereka menyusuri seluk-beluk kedai kopi dari BSD City sampai Bandung, berakhir menemukan petani lokal di Ciwidey yang saat ini menyuplai kopi untuk kedai mereka.
Pernah pula mereka berjibaku meracik kopi menggunakan mesin espresso manual sampai 10 gelas sehari demi menemukan rasa yang menyentuh hati, sesuai slogan kedai mereka, “taste that touch your heart.”
“Sampai mabok,” kenang Putri sambil tertawa.
Mereka menyulap garasi rumah milik teman Adhika menjadi kedai. Lima bulan berselang, mereka sanggup membuka cabang baru di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Ditolak kerja berulang kali
Ide berbisnis mereka bukan datang bak bintang jatuh dari langit.
Ada serangkaian proses pahit sehubungan dengan rekrutmen pekerjaan yang membuat mereka dengan mantap banting setir sebagai wirausaha.
“Sejak aku lulus, aku selalu ikut kalau ada pameran kerja. Di sana, apa pun kantornya, ada yang kuliner, ada yang oil and gas, semua aku ambil kartu namanya. Semuanya aku lamar. Lewat e-mail sudah, sampai Putri kirim lewat amplop juga sudah. Enggak ada satu pun yang menerima aku jadi pegawai,” tutur Putri kepada Kompas.com saat dijumpai di kedainya di Duren Tiga, Selasa (7/5/2019).
Putri berkisah, awalnya ia selalu membubuhkan keterangan “disabilitas tuli” pada surat lamarannya.
Tak satu pun perusahaan menggubris lamarannya. Curiga namanya dicoret karena diketahui sebagai disabilitas, Putri emoh menulis lagi keterangan tersebut. Ia tetap berburu lowongan di pameran kerja.
Siasat tersebut membuahkan hasil. Beberapa perusahaan memanggilnya untuk sesi wawancara.
Akan tetapi, beda perlakuan bagi kalangan disabilitas dalam memperoleh akses pekerjaan memang nyata adanya.
“Sempet aku diwawancara salah satu perusahaan di Sudirman, mereka panggil Putri tapi dari jauh. Akhirnya, aku dikasih tahu orang resepsionis supaya ketemu HRD,” ujar Putri yang lulus sejak 2015 itu.
“HRD tanya nama kamu siapa, terus dia kaget karena suaraku begini. Dia sempat tanya Putri beberapa kali, Putri baru merespons pas ditanya ketiga kali. Di situ Putri dimarahi, katanya, ‘Kenapa enggak ditulis disabilitas tuli’? Aku jawab, kalau saya tulis tuli, enggak ada yang mau terima,” Putri bercerita.
Kata Putri, panggilan sesi wawancara selalu berujung penolakan. Kebanyakan perusahaan menolak secara halus dengan melontarkan dalih-dalih yang ia anggap tak masuk akal.
“Pernah ada lowongan, butuh 25 orang desain grafis. Aku daftar, lalu dipanggil wawancara. Habis wawancara, HRD-nya bilang kalau mereka sudah dapat orangnya. Ya, kalau sudah dapat ngapain panggil Putri?”
Semuanya dianggap angin lalu karena mereka difabel.
“Di perusahaan kan mereka butuh kerja cepat, kalau teman tuli agak susah untuk cepat-cepat, apalagi enggak semua orang kantor sabar pakai bahasa isyarat. Padahal, yang kita perlukan hanya akses, bahwa kita sama saja lho,” ujar dia.
Menghapus diskriminasi
"Untuk itulah Koptul berdiri", ujar Putri. Mula-mula, ia ingin menjembatani kesenjangan pemahaman antara teman dengar dengan teman tuli.
Teman dengar yang mengunjungi kedainya diajak buat menyelami dunia tuli, memesan kopi langsung dengan barista tuli sampai belajar bahasa isyarat dari staf-staf kedai yang seluruhnya tunarungu.
“Yang senang kopi, orang yang suka ngobrol, senang literasi. Kopi adalah media komunikasi, sementara tujuan Koptul berdiri adalah menjembatani teman dengar dengan teman tuli melalui komunikasi bahasa isyarat,” ucap Putri.
Itu jangka pendeknya. Ke depannya, ia bakal mengadakan kampanye ke sekolah-sekolah dasar buat memuluskan agenda sosial di balik bisnis kopinya.
Namun, yang terutama, ia berharap bisnisnya bisa kian berkembang dan bercabang di berbagai daerah supaya mampu merekrut lebih banyak teman-teman tuli yang senantiasa mengalami kesulitan akses pekerjaan.
“Makin banyak cabang makin banyak tenaga kerja dari teman tuli, karena pegawai Koptul memang harus tunarungu," kata Putri.
"Kita percaya segala sesuatu niat yang baik, itu sudah tidak bisa ditawar. Kita enggak khawatir karena kita punya tujuan baik, bukan hanya mempekerjakan tetapi menyejahterakan mereka. Itu memang berat,” ujar Putri yang sore itu ditemani suaminya sebagai “penerjemah”.
Putri mengatakan, binis Koptul ini sekaligus membuktikan kepada masyarakat bahwa difabel mampu berkarya dan berbisnis.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/05/11/04140091/ditolak-perusahaan-berulang-kali-3-sahabat-ini-bangun-bisnis-kopi-tuli