Gugatan itu akan dilayangkan terhadap Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.
Bulan April lalu, LBH Jakarta membuka Pos Pengaduan Calon Penggugat secara online dalam rangka pengajuan gugatan warga negara terkait pencemaran udara di Jakarta yang sudah di luar ambang batas.
Lewat pos pengaduan tersebut sebanyak 58 orang warga Jakarta, yang sehari-hari beraktivitas di Jakarta (komunitas pesepeda, orang tua dari anak-anak, pekerja kantoran yang berjalan kaki dan menggunakan angkutan umum, dan sebagainya) telah mendaftarkan diri sebagai penggugat
Advokat LBH Jakarta Ayu Eza Tiara mengatakan, pihaknya mengajukan gugatan setelah tak mendapat respons baik dari Pemprov DKI dan lembaga lainnya.
"Pada bulan Desember kami sudah melakukan notifikasi, orang yang digugat punya 60 hari untuk melakukan perbaikan. Namun, nyatanya dari Desember sampai kini tidak pernah memberikan respons baik," kata Ayu dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa kemarin.
Ayu mengatakan, Pemprov DKI tak pernah melaporkan upaya memperbaiki udara Jakarta.
Ia juga menyayangkan sikap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang malah menyatakan mengapresiasi gugatan mereka.
"Kami tidak butuh apresiasi, yang kami perjuangkan hak asasi manusia," kata Ayu.
Menurut dia, kualitas udara Ibu Kota Jakarta kian memburuk. Hal ini terlihat dari pemantauan selama libur Lebaran.
Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, kualitas udara Jakarta masih terpantau berbahaya selama Lebaran.
Berkurangnya kendaraan karena aktivitas mudik dan libur perkantoran selama sepekan tidak memberikan dampak signifikan pada perbaikan kualitas udara Jakarta.
Pada H-1 sebelum Lebaran atau 4 Juni 2019, partikel polusi yang sangat berbahaya yakni PM 2,5, tingkat hariannya mencapai 70,8 ug/m3. Angka itu berada di atas baku mutu udara nasional sebesar 65 ug/m3.
“Ini menunjukkan bahwa polusi udara Jakarta sangat parah dan sumbernya tidak hanya berasal dari kendaraan bermotor saja, tapi dari berbagai sumber pencemar yang ada di sekeliling Jakarta," ujar Bondan.
Sumber pencemaran yang dimaksud di antaranya 8 buah PLTU (22 unit) ditambah dengan rencana penambahan 4 buah PLTU Batubara baru (7 unit) yang berada dalam radius 100 kilometer dari Jakarta.
Dampak kesehatan atas pencemaran udara, khususnya PM 2.5 mengakibatkan sejumlah penyakit pernapasan serius, mulai dari infeksi saluran pernafasan (ISPA), jantung, paru-paru, resiko kematian dini, hingga kanker paru.
"Pemerintah baik pusat maupun daerah secara pelan-pelan sedang membunuh warganya sendiri apabila tidak juga serius dalam menangani masalah pencemaran udara dan mengambil langkah yang nyata untuk menutup sumber pencemar udara," kata Bondan.
Anies klaim membaik
Di sisi lain, Gubernur Anies meyakini upaya Pemprov DKI mengurangi polusi udara sudah baik.
Ia optimistis Jakarta bisa menurunkan kadar gas emisi rumah kaca hingga 30 persen pada tahun 2030.
"Sekarang masih 2019, jadi kita sudah ada 11 tahun, tetapi kami sudah menurunkan mencapai 22 persen, artinya kami melakukan dengan baik. Mudah-mudahan kita bisa lebih awal dari target 2030," kata Anies usai pertemuan C40 di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (18/6/2019).
Anies mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan yakni dengan menyediakan transportasi publik yang layak.
Tanpa transportasi publik, lanjut dia, masyarakat akan memilih kendaraan pribadi.
Saat ini, 17 juta kendaraan bermotor dinilai sudah terlalu banyak. Anies menilai masalah itu mendesak untuk diatasi.
"Nah yang kami kerjakan adalah membereskan transportasi publik, kualitasnya lebih baik, terintegrasi, harganya terjangkau, kemudian rutenya pun terjangkau," ujarnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/06/19/12272511/buruknya-udara-jakarta-dan-klaim-anies