Swantoro, atau yang biasa dipanggil Pak Swan oleh sebagian besar wartawan Kompas, meninggal pada usia 87 tahun.
Nurbertus Nuranto, putra sulung Pak Swan mengatakan, Ayahnya tutup usia dalam keadaan tertidur.
"Biasanya kan dia (Pak Swan) ngorok dan biasa bangun pagi. (Tadi) Ibu saya enggak dengar dia ngorok. Dibangunin ya sudah enggak ada (meninggal)," kata Nur saat ditemui Kompas.com, Minggu.
Ia mengatakan, sang Ayah tidak memiliki riwayat penyakit tertentu menjelang akhir hayatnya. Bahkan, kata dia, kemarin Pak Swan masih beribadah di Gereja, serta menemani dirinya merokok bersama di rumah.
Rasa kehilangan pasti dirasakan Nur, istri Pak Swan, maupun anak-anaknya yang lain.
Namun, mereka memilih untuk tetap tersenyum ketika menyambut tamu yang datang untuk melayat.
Alasannya, sang Ayah meninggal seperti apa yang diinginkan, yakni pergi dalam keadaan tertidur.
Berkomunikasi melalui buku
Nur menyampaikan, Pak Swan merupakan sosok seorang Ayah, guru, sekaligus teman bagi dirinya. Menurut Nur, Pak Swan selalu mengajarkan anak-anaknya untuk "sembodo"
"Artinya, lu berani ngomong sesuatu, mau kerjakan sesuatu, ya kerjakan saja, tanggung jawab sendiri," ujar Nur.
Selain itu, Pak Swan selalu mengajarkan anak-anaknya untuk belajar dan membaca, karena ia begitu mencintai dunia tulis dan baca.
Bahkan, Nur mengungkapkan, salah satu cara untuk berkomunikasi dengan sang Ayah adalah dengan membaca.
"Kalau mau ngobrol sama dia ya lewat bacaan. Saya baca, terus kalau ada yang tidak saya mengerti, baru dia ngajar, jadi bahan (obrolan) akhirnya kebiasaan baca," kata Nur.
Bagi Pak Swan, buku hampir seperti hidupnya sendiri. Begitu juga yang disebutkan oleh Bre Redana, wartawan Kompas dari 1982-2017 yang merupakan bawahan Pak Swan ketika menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas.
Menurut Bre, begitu cintanya terhadap buku, Pak Swan sempat menulis sebuah buku dengan judul dari "Dari Buku ke Buku"
"Dari Buku ke Buku itu adalah memori dia tentang buku. Bagaimana memori dia terbentuk dari buku," ujar Bre saat ditemui di rumah duka.
Buku "Dari Buku ke Buku" itu diciptakan Pak Swan dari ribuan buku tua yang menjadi koleksi pribadinya. Buku itu ditulis Pak Swan setiap hari selama bekerja di Kompas.
Bagi Bre, Pak Swan lebih dari sekedar atasan. Sosok Pak Swan lebih tepat disebut sebagai Ayah kedua bagi Bre.
"Pak Swan orang yang keras, bicaranya itu langsung begitu ya, tapi jiwanya itu hangat, akrab, cenderung tidak berjarak," ujarnya.
Meski bestatus atasan dan bawahan, Pak Swan dan Bre tidak segan saling bercanda satu sama lain. Sama-sama menguasai bahasa Jawa, menurut Bre, dia dan Pak Swan tak sungkan melontarkan bahasa-bahasa yang terbilang keras untuk diucapkan antara dua orang yang beda usia.
Seperti Ayah kepada anak kandungnya sendiri, para wartawan Kompas juga sering dicekoki Pak Swan dengan buku-buku yang dianggapnya menarik, sesuai dengan minat masing-masing wartawan.
Melalui sekretarisnya, biasanya Pak Swan memberikan masing-masing wartawan salinan dari buku-buku yang wajib dibaca oleh masing-masing wartawan
Namun, dalam hal pekerjaan, Pak Swan merupakan pribadi yang keras, lugas, dan ditakuti di kalangan para wartawan Kompas.
Menjunjung tinggi nilai Kompas
Ada satu momen yang diingat Bre seumur hidup, ketika ia menerima kemarahan Wakil Pemimpin Redaksi tersebut. Kala itu, Bre masih belum terlalu lama bekerja sebagai wartawan.
"Waktu itu kan W S Rendra itu kan dicekal sebagai dramawan, sebagai penyair, oleh Orde Baru itu dicekal, tidak boleh tampil. Setelah sekian tahun Rendra itu tidak tampil, entah bagaimana dia punya kesempatan tampil pada tahun 80an itu," ujar Bre.
Bre kemudian diminta oleh kepala desknya, kala itu yakni Kristanto YB, untuk meliput acara yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki.
Namun, kala itu Bre yang sedang terkena flu tidak hadir dan tidak meliput acara tersebut.
Keesokan harinya, ia dipanggil dan ditanyai oleh Kris yang menanyakan mengapa Bre tidak meliput acara tersebut. Tak lama kemudian ia dipanggil langsung oleh Pak Swan untuk menghadap.
Pak Swan kemudian menanyakan alasan mengapa Bre tidak meliput acara tersebut. Ia kemudian menjawab bahwa ia sedang flu.
"Saya ingat kata-kata Pak Swan, 'Wartawan, yang namanya sakit itu kalau kamu sudah terkapar di rumah sakit, itu baru yang namanya sakit'," ucap Bre sambil menirukan kata-kata Pak Swan kepadanya.
Setelah memarahi Bre habis-habisan, Pak Swan kemudian memerintahkannya untuk mendapatkan informasi mengenai acara tersebut. Bre lantas mendatangi rumah Rendra, agar bisa memberitakan acara yang sudah lewat itu.
"Seorang Wapemred begitu peduli dengqn acara kebudayaan, bahkan membaca puisi itu tidak ada dalam sejarah Kompas berikutnya. Seorang pimpinan dengan posisi setinggi itu peduli dengan pembacaan puisi," kata Bre.
"Pimpinan redaksi untuk koran nasional seperti Kompas atau koran atau majalah lain pasti dipikir acara yang penting itu adalah acara Soeharto pidato, pejabat. Kompas tidak, bahwa acara pembacaan puisi seperti itu penting," kata Bre.
Nilai itulah yang dipegang Bre selama bertahun-tahun, hingga akhirnya pensiun sebagai wartawan pada 2017 lalu.
Baik Nur maupun Bre sepakat bahwa Kompas merupakan rumah pertama bagi Pak Swan, melebihi rumah tempat tinggal dengan keluarganya sendiri.
Lebih dari separuh hidup Pak Swan ia habiskan untuk membaca dan menulis di ruang kantor redaksi Kompas.
Bahkan ia rela berhari-hari tidak pulang menghabiskan waktunya di dunia jurnalistik.
Kini Pak Swan sudah beristirahat dengan tenang. Meski jasadnya tidak lagi hadir, namun semangat dan tulisan-tulisannya akan selalu hidup. Selamat jalan, Pak Swan...
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/11/18103801/selamat-jalan-pak-swan-sosok-ayah-bagi-kompas-gramedia