Salin Artikel

Kisah Pendongeng yang Rela Jalan Kaki Indramayu-Jakarta demi Sekolah Anaknya

JAKARTA, KOMPAS.com – Hari ini, cukup gampang menyandang predikat aktivis ataupun pencinta lingkungan. Apalagi di tengah gaya hidup urban.

Membawa tumbler, menggunakan sedotan stainless, atau membagikan video ikan-ikan yang mati akibat cemaran sampah plastik, kini bisa jadi atribusi istimewa apabila ingin dikenal sebagai aktivis lingkungan.

Setelah berbincang panjang lebar dengan Samsudin (47), atribusi-atribusi tadi jadi terasa amat remeh. Pria asal Indramayu ini sudah memasuki tahun keenamnya mengabdikan diri pada aktivisme lingkungan dan pelestarian satwa.

Bukan gembar-gembor lewat media sosial, Samsudin memilih jalan sunyi melalui media dongeng.

Kompas.com menjumpai Samsudin, Kamis (15/8/2019) sore di bilangan Senen, Jakarta Pusat. Sore itu, tubuh Samsudin sudah kumal. Wajahnya legam terpanggang siang.

Ia telah memasuki kilometer pamungkasnya berjalan kaki dari kampungnya di Indramayu, Jawa Barat ke Ibukota.

Sepanjang 7 hari perjalanan itu, ia setia menggembol tas merah-putih berisi wayang kardus berwujud aneka binatang yang kerap ia pakai mendongengi bocah. Di Jakarta, Samsudin bermimpi dapat menemui Presiden RI Joko Widodo ataupun Ibu Negara Iriana Widodo.

Baru kali ini ia bermimpi bertemu RI 1. Kondisi finansial yang sulit memaksa pendongeng ini menunggak uang sekolah putri semata wayangnya.

Samsudin merasa tak bisa lebih lama lagi memperjuangkan dongeng konservasinya secara senyap. Wajar belaka jika seorang prajurit ingin perjuangannya tersiar.

Ditakdirkan jadi pengajar

Samsudin anak ketujuh dari delapan bersaudara. Lahir dari keluarga sederhana, mendiang ayahnya menitip pesan pada sang bunda sebelum tiada.

“Kalau bisa, anak-anak mengajar,” kata Samsudin menirukan pesan sang ayah lewat mulut ibunya.

Ia menggenapi pesan ayahnya yang wafat 1982 silam. Sejak 2006, ia membaktikan diri jadi guru honorer di salah satu sekolah dasar di Desa Krasak, Indramayu.

Mulanya mengajar siswa kelas VI, ia sempat bingung ketika diminta mengajar siswa kelas I. Ada tantangan tersendiri buat menggamit perhatian para murid yang masih bocah itu.

“Akhirnya saya mengajar sambil cerita, sambil gambar. Dongeng saya ini sebetulnya ada cerita, bumbu penyedap agar informasi yang saya sampaikan bisa menarik perhatian anak untuk mengajar. Pokoknya maksa anak untuk betah,” kenang Samsudin.

Tujuh tahun jadi guru honorer, Samsudin angkat kaki pada 2013. Katanya, ia kurang cocok terhadap kondisi sekitar. Namun demikian, panggilan jiwanya sebagai pengajar tak ikut surut.

Langkah pertama, ia dan sejumlah kolega membentuk Rumah Baca Bumi Pertiwi di kampungnya, Desa Krasak, Indramayu di rumah pemberian bundanya.

Menurut Samsudin, itu jauh lebih bermanfaat ketimbang menyulap rumah itu jadi kontrakan yang mendatangkan keuntungan materiil sesaat belaka.

“Tapi, beberapa anak sekolah yang keasyikan baca di sini jadi dihukum, karena saat bel sekolah mereka terlambat. Saya tidak enak, sekaligus mikir juga. Kalau saya bergerak di Krasak terus, bagaimana dengan tempat lain? Itu mungkin petunjuk dari alam semesta, petunjuk Tuhan bahwa saya harus bergerak. Akhirnya, saya coba mendongeng ke TK-TK. Dulu, di Indramayu, saya bisa bergerak sendiri,” Samsudin membeberkan.

Pria yang akrab disapa Paman Sam ini mengakui, kondisi itu tak pelak bikin kantongnya cekak.

“Habis daripada saya diam, saya malah sakit. Itu kan malah keluarin duit, mendingan saya gerak. Kalau mendongeng di sekolah-sekolah guru honornya kadang cuma Rp 200.000 sebulan, masa saya tega minta Rp 500.000. Lagian siapa yang mau ngasih? Kebanyakan gratis. Masyarakat anaknya bisa sekolah saja saya sudah senang,” ujar Samsudin.

“Ya jalan saja ke mana. Lalu lihat sekolah yang sepertinya harus dibantu dan diperhatikan karena kumuh, ya saya menawarkan diri. Saya juga berharap guru-guru bisa menyerap pembelajaran dongeng,” kata dia.

“Intinya, ngajar is my life.”

Pilih dongeng konservasi

Selain aktif mendongeng ke sekolah-sekolah  kampung dan ogah menerima bayaran, Samsudin bukan anak kemarin sore dalam aktivisme lingkungan. Kiprahnya sudah tertoreh selama beberapa tahun ke belakang.

Tahun 2016, ia mengayuh sepeda dari Jakarta ke Jambi untuk kampanye pelestarian badak.  Setahun berselang, sepeda bututnya kembali ia kayuh, kali itu ke Yogyakarta. Samsudin juga sudah meninggalkan jejak di Ujung Kulon, Banten sampai Tenggarong di Kalimantan Timur. Tugasnya tetap: mendongeng.

“Mereka itu Indonesia di masa depan,” ucap Samsudin.

Ketika melakoni tur hasil undangan berbagai LSM konservasi itu, tak jarang Samsudin mendapati hal tak enak. Paling menjengkelkan, katanya, terjadi waktu ia dijadwalkan mendongeng di salah satu sekolah terpandang di Tenggarong.

“Saya diketawain sama satpam waktu minta izin mau masuk,” tutur Samsudin mengingat kejengkelannya waktu itu.

Namun, di luar tur-tur besar itu, tak terhitung berapa kali Samsudin sambangi sekolah-sekolah di kampung atau mengumpulkan anak-anak di desa. Agendanya sama: mendongengi bocah soal pelestarian lingkungan.

Titik mula Samsudin memilih isu lingkungan rupanya sederhana. Ia punya kemenakan yang juga pegiat lingkungan. Suatu hari, saat sedang berkunjung ke kantor kemenakannya di Ujung Kulon, kemenakannya kedatangan tamu perempuan dari US Fish and Wildlife Service – sejenis kementerian lingkungan hidup Amerika Serikat. Samsudin sendiri sudah jatuh hati pada isu ini usai menghabiskan banyak waktu bersama kemenakannya setelah lepas dari profesi guru.

Tamu itu ngobrol panjang lebar dengan kemenakannya soal tantangan konservasi alam di Indonesia. Hingga suatu waktu, tamu bule itu menyodorkan pertanyaan dalam bahasa Inggris:

“Lembaga ini punya pendidikan sosialisasi ke masyarakat atau tidak?” kata Samsudin menirukan pertanyaan tamu bule itu.

“Walaupun saat itu saya tamu gelap, tamu pribadi, tapi saya yang jawab. Saya merasa, itu pertanyaan untuk semua orang Indonesia. Perkara saya staf lembaga itu atau bukan, no matter. Saya jawab, saya nanti berusaha melaksanakan.”

Jadilah Samsudin, hingga kini, konsisten di jalan sunyi perjuangannya lewat dongeng konservasi. Menurutnya, takdir tersebut adalah kewajiban kolektif yang tak dapat digugat.

Ia sendiri percaya, dongeng masih ampuh sebagai media pendidikan bagi anak-anak, kendati era kiwari meniscayakan jenis anak-anak yang lebih gemar menatap layar gawai dan bermedia sosial.

“Ini soal komunikasi. Memang itu tantangannya, ketika anaknya sudah keracunan gadget, saya harus lebih sabar lagi. Tapi, ketika kita bikin komunikasi dua arah, bonding lho jadinya. Membuat anak merasa diharagai keberadaannya. Itu penting banget. Saya mendorong anak supaya saat saya mendongeng ikut menimpali, atau, saya pancing dengan pertanyaan di sela kegiatan, supaya interaktif,” jelas Samsudin.

Untuk mendukung interaksi dalam dongengnya, wayang-wayang kardus miliknya yang berwujud aneka satwa memainkan peran sentral. Ada sosok tikus hitam, tikus putih, monyet ekor panjang, bekantan, tapir, sampai pesut dan sejumlah satwa lain yang sulit dijabarkan seluruhnya. Anak-anak, kata Samsudin, suka berebut menamai satwa-satwa itu menggunakan nama mereka.

Butuh sponsor

Secara terang-terangan, Samsudin mengakui bila kondisi keuangannya tengah limbung. Selain mesti mencari utangan guna menambal biaya sekolah putri semata wayangnya, ia membutuhkan sokongan pihak luar agar pengabdiannya pada dongeng konservasi tak ikut putus.

Dalam kondisi begini, ia tak bisa fokus mendongeng karena bayang-bayang utang itu membelit benaknya. Lagipula, tak selamanya ia bisa mengandalkan jaringan koleganya di bidang aktivisme lingkungan untuk memperoleh undangan mendongeng di berbagai sekolah. Seorang pejuang tidak selamanya bergerilya.

Hari ini, genap sepekan Samsudin menunaikan ikhtiarnya berjalan kaki dari Indramayu-Jakarta.

Ia sudah menuntaskan ikhtiar itu Kamis sore, saat ia tiba di depan Istana Merdeka bersama panji bertuliskan: “membutuhkan beasiswa agar anak bisa tetap sekolah” yang ia bawa.

Kedatangannya jelang peringatan ulang tahun RI 17 Agustus nanti sebetulnya ia harapkan jadi momentum pertemuannya dengan Joko Widodo.

“Harapannya, kalau misalkan nanti bisa didukung presiden dan ibu negara, kerja saya diperingan untuk pendidikan konservasi melalui media dongeng,” kata Samsudin.

“Yang saya harapkan bukan cuma presiden, tapi siapa pun, agar beban saya diringankan. Kedatangan saya ke Jakarta untuk menyebarkan spirit saya, agar ada sponsor yang mau mendengar. Anak saya sedang semangat-semangatnya sekolah, dia harus bisa tetap sekolah. Saya terancam tidak bisa mendongeng,” pungkasnya.

https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/16/06191611/kisah-pendongeng-yang-rela-jalan-kaki-indramayu-jakarta-demi-sekolah

Terkini Lainnya

Said Iqbal: Upah Buruh di Jakarta yang Ideal Rp 7 Juta Per Bulan

Said Iqbal: Upah Buruh di Jakarta yang Ideal Rp 7 Juta Per Bulan

Megapolitan
Ikut Demo May Day 2024, Buruh Wanita Rela Panas-panasan demi Memperjuangkan Upah yang Layak

Ikut Demo May Day 2024, Buruh Wanita Rela Panas-panasan demi Memperjuangkan Upah yang Layak

Megapolitan
Dua Orang Terluka Imbas Kecelakaan di Tol Jakarta-Cikampek

Dua Orang Terluka Imbas Kecelakaan di Tol Jakarta-Cikampek

Megapolitan
Korban Kedua yang Tenggelam di Sungai Ciliwung Ditemukan Tewas 1,2 Kilometer dari Lokasi Kejadian

Korban Kedua yang Tenggelam di Sungai Ciliwung Ditemukan Tewas 1,2 Kilometer dari Lokasi Kejadian

Megapolitan
Rayakan 'May Day Fiesta', Massa Buruh Mulai Padati Stadion Madya GBK

Rayakan "May Day Fiesta", Massa Buruh Mulai Padati Stadion Madya GBK

Megapolitan
Fahira Idris: Gerakan Buruh Terdepan dalam Perjuangkan Isu Lintas Sektoral

Fahira Idris: Gerakan Buruh Terdepan dalam Perjuangkan Isu Lintas Sektoral

Megapolitan
Polisi Tangkap Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi

Polisi Tangkap Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi

Megapolitan
Hadiri 'May Day Fiesta', Massa Buruh Mulai Bergerak Menuju GBK

Hadiri "May Day Fiesta", Massa Buruh Mulai Bergerak Menuju GBK

Megapolitan
Pakai Caping Saat Aksi 'May Day', Pedemo: Buruh seperti Petani, Semua Pasti Butuh Kami...

Pakai Caping Saat Aksi "May Day", Pedemo: Buruh seperti Petani, Semua Pasti Butuh Kami...

Megapolitan
Penyebab Mobil Terbakar di Tol Japek: Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Penyebab Mobil Terbakar di Tol Japek: Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Megapolitan
Massa Buruh Nyalakan 'Flare' dan Kibarkan Bendera di Monas

Massa Buruh Nyalakan "Flare" dan Kibarkan Bendera di Monas

Megapolitan
Ribuan Buruh Ikut Aksi 'May Day', Jalanan Jadi 'Lautan' Oranye

Ribuan Buruh Ikut Aksi "May Day", Jalanan Jadi "Lautan" Oranye

Megapolitan
Bahas Diskriminasi di Dunia Kerja pada Hari Buruh, Aliansi Perempuan: Muka Jelek, Eh Tidak Diterima...

Bahas Diskriminasi di Dunia Kerja pada Hari Buruh, Aliansi Perempuan: Muka Jelek, Eh Tidak Diterima...

Megapolitan
Ribuan Polisi Amankan Aksi 'May Day', Kapolres: Tidak Bersenjata Api untuk Layani Buruh

Ribuan Polisi Amankan Aksi "May Day", Kapolres: Tidak Bersenjata Api untuk Layani Buruh

Megapolitan
Korban Tenggelam di Kali Ciliwung Ditemukan, Jasad Mengapung 2,5 Kilometer dari Titik Kejadian

Korban Tenggelam di Kali Ciliwung Ditemukan, Jasad Mengapung 2,5 Kilometer dari Titik Kejadian

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke