Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah mengandalkan sejumlah program kerja untuk menanggulangi banjir yang kerap terjadi di Jakarta.
Salah satu program banjir yang cukup diandalkan saat pemerintahan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama adalah normalisasi atau pelebaran sungai.
Seiring pergantian gubernur, terminologi normalisasi pun turut berubah. Gubernur DKI Jakarta saat ini Anies Baswedan mengganti istilah normalisasi menjadi naturalisasi.
Pasalnya, Anies tidak ingin betonisasi dilakukan di kawasan pinggir sungai. Dia menilai hal itu dapat merusak ekosistem sungai.
Namun, tanpa kita sadari Jakarta telah menjadi wilayah langanan banjir sejak pemerintah Hindia Belanda. Jakarta yang saat itu masih bernama Batavia kerap dilanda banjir saat diguyur hujan lebat.
Pemerintah Hindia Belanda bukannya membiarkan bencana banjir tersebut. Mereka telah berusaha mengantisipasi terjadinya bencana banjir dengan membangun sistem kanal.
Banjir Besar tahun 1621
Harian Kompas 10 November 2007 melaporkan, Jakarta yang dulunya masih bernama Batavia memiliki sistem kanal segi empat.
Sistem kanal rancangan Jan Pieterszoon tersebut menyerupai tata letak Amsterdam kala itu. Namun, sistem kanal yang dibangun pemerintahan Hindia Belanda gagal menjadi pengendali banjir di kawasan Jakarta.
Pada tahun 1621 adalah catatan pertama dalam pemerintahan Hindia Belanda yang menyebutkan pos pertahanan utama VOC di Asia Timur dilanda bencana banjir besar.
Tahun 1872
Sistem kanal terbukti tidak dapat mengendalikan bencana banjir di Jakarta. Diketahui, banjir juga melanda wilayah Jakarta pada tahun 1654, 1872, 1892, 1909, dan 1918.
Banjir pada tahun 1872 merendam sejumlah wilayah Jakarta, di antaranya Kota Tua dan kawasan Harmoni. Banjir disebabkan Ciliwung meluap setelah Jakarta diguyur hujan dengan curah 286 milimeter.
Tahun 1892
Koran Sin Po terbitan 1 Januari 1892, seperti dikutip Harian Kompas menyebutkan bahwa Jakarta kembali dilanda bencana banjir besar.
Harian Kompas mewartakan bahwa wilayah Weltevreden (Gambir dan sekitarnya) terendam banjir setelah diguyur hujan lebat selama 8 jam. Curah hujan saat itu tercatat 286 milimeter.
Tahun 1893
Selang setahun, tepatnya tahun 1893, Jakarta kembali terendam banjir. Kala itu, wilayah Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pasaruyan, Kebon Jeruk, Kemayoran Wetan dan Sumur Batu terendam banjir setinggi 1 meter.
Bencana banjir tersebut juga menyebabkan wabah kolera sehingga banyak warga Batavia meninggal dunia.
Banjir Besar tahun 1918
Bencana banjir besar kembali merendam Jakarta pada awal abad ke-20. Harian Kompas mencatat banjir pada tahun 1918 merupakan bencana banjir terbesar dalam pemerintahan Hindia Belanda.
Koran Sin Po edisi 19 Februari 1918, seperti dikutip Harian Kompas mencatat bahwa hampir seluruh wilayah Jakarta tergenang banjir.
Kala itu, wilayah Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Tambora, Grogol, Kali Besar dilanda banjir dengan ketinggian air sedada orang dewasa. Banjir juga merendam rumah-rumah penduduk "Boemipoetra", Pasar Baru, dan Gereja Katedral.
Para penduduk pun harus mengungsi ke kawasan Molenvliet atau sekarang dikenal dengan kawasan Monumen Nasional (Monas).
Membangun Saluran Air
Harian Kompas tanggal 10 November 2007 mencatat, pemerintah Hindia Belanda mulai membangun saluran air dari Pintu Air Manggarai menuju Muara Angke pada 1922. Saat ini, saluran air tersebut disebut Banjir Kanal Barat.
Kendati demikian, sistem kanal dan saluran air yang dibangun pemerintah Hindia Belanda tidak sepenuhnya menjamin Jakarta terbebas dari banjir.
Banjir Kanal Barat dan pintu air Manggarai dianggap hanya bisa mengalihkan wilayah yang terdampak banjir.
Walaupun saluran air tersebut sudah difungsikan, banjir kembali merendam Jakarta pada tahun 1932. Banjir bahkan sempat menghanyutkan sejumlah rumah di sepanjang Jalan Sabang dan Thamrin.
Ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jan Sopaheluwakan, seperti dikutip Harian Kompas tanggal 18 Januari 2013, mengatakan bahwa banjir Jakarta tak akan bisa diselesaikan dengan sistem kanal. Alasannya, geologis Jakarta berbentuk cekungan.
Selain itu, kata Sopeheluwakan, kawasan utara Jakarta yakni Ancol dan Teluk Jakarta juga mengalami pengangkatan karena proses tektonik. Sehingga, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut.
Air tersebut akhirnya terperangkap di cekungan besar Jakarta yang menyebabkan banjir.
Ketiga belas sungai itu adalah Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat, dan Kali Cakung.
”Itu sebabnya, Teluk Jakarta tidak bisa membentuk delta, seperti Delta Mahakam di Kalimantan. Endapan kasar yang dibawa sungai-sungai mengendap di cekungan Jakarta sehingga tidak sampai ke laut dan membentuk delta,” katanya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/15/13293401/kilas-balik-masa-pemerintah-hindia-belanda-banjir-terbesar-jakarta