JAKARTA, KOMPAS.com - Jajaran perahu layar tampak memadati tepi perairan yang menghubungkan Kampung Akuarium dengan pelabuhan Sunda Kelapa.
Dari kejauhan terlihat seorang pria tua berkulit gelap. Sambil bertelanjang dada, ia berjalan menuju salah satu perahu yang ditambatkan.
Dia adalah Udin (70), seorang nelayan kawakan yang telah puluhan tahun menggantungkan hidup pada hasil kekayaan laut di Utara Jakarta.
"Sudah 50 tahunan lah saya datang ke Jakarta, dari tahun 63, dulu ikut perahu-perahu begini, terus nikah, jadi nelayan udah sampai di mana-mana," kata Udin penuh rasa bangga dalam wawancara di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (5/11/2010).
"Sampai di Malaysia, Singapura, dulu saya pernah bawa kapal gede dari Muara Angke, jadi jalannya jauh-jauh terus saya, kadang dua bulan baru balik," sambungnya.
Udin juga memamerkan perahu-perahu yang dia miliki, meski tidak menyebut berapa jumlah pastinya.
Kata Udin, sebagian perahu itu sudah ia wariskan untuk keempat anaknya, yang masing-masing telah berkeluarga.
Belum lama bercerita tentang masa kejayaannya, Udin tiba-tiba muram.
Ia mengeluh tentang betapa sulitnya mencari sesuap nasi demi bertahan hidup sebagai seorang nelayan di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.
"Waduh sekarang mah susah. Ah... beli makan aja susah, saya nganggur udah lama ini, selama ada corona ini enggak ada (pemasukan) sama sekali. Ada satu tahun lebih (perahu) enggak pernah jalan," ucap Udin.
"Semenjak corona ini pada mengeluh semua. Kalau kemarin-kemarin enggak ada corona ya alhamdulilah dalam satu malam masih bisa jual ikan sampai Rp 5 juta-Rp 6 juta, sekarang boro-boro," tambahnya.
Pandemi Covid-19 di Tanah Air memang baru berlangsung delapan bulan, tapi persoalan reklamasi Teluk Jakarta juga memberikan dampak buruk pada mata pencariannya. Masalah inilah yang membuat Udin genap satu tahun tak melaut.
"Ikan juga sedikit. Makanya itu, gara-gara dulu kan direklamasi di daerah Muara Angke, dulunya nelayan itu alhamdulilah (tercukupi). Sekarang boro-boro, Rp100.000 aja susah gara-gara ada reklamasi, apalagi ditambah pandemi, pada mengeluh semua nelayan," tutur Udin.
Penghasilan yang tak seberapa membuat Udin memutuskan untuk tidak lagi mencari ikan.
Menurut Udin, hasil laut yang ia dapat selama berlayar tak akan cukup memenuhi biaya bensin dan pajak berlayar.
"Kalau penghasilannya cuma Rp 100.000 sehari enggak cukup kan. Buat bahan bakar aja enggak cukup, gara-gara corona begini kita benar-benar ini susah benar hidup ini," keluhnya.
Selama tidak berlayar, Udin berusaha mengais rezeki dengan memperbaiki perahu nelayan lain yang rusak dan menyewakan perahunya bila ada orang yang ingin memancing ke tengah perairan.
Sedangkan ketiga anak laki-lakinya bekerja mengangkut barang dari kapal-kapal besar di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Himpitan ekonomi membuat Udin tidak terlalu peduli dengan virus corona tipe 2 yang bisa kapan saja menjangkitinya.
Ia mengaku tak pernah mengenakan masker bahkan ketika sedang berada di keramaian sekali pun.
"Wah kalau saya ke Glodok, ke mana-mana saya enggak pernah pakai masker atau apa, saya bilang mau ngapain? Ini enggak ada apa-apanya, engak pernah, saya enggak mau, kalau memang kena (tertular), silakan," ujar Udin dengan kening yang mengkerut.
"Orang masih mau makan, gimana? Lebih baik saya mati berdarah daripada mati kelaparan," tambahnya.
Meski demikian, Udin masih berharap akan adanya keajaiban dari masa-masa berat ini.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/06/14170671/kala-nelayan-kampung-akuarium-tak-lagi-melaut-akibat-reklamasi-teluk