Terakhir, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan menimpa para karyawati di salah satu perusahaan daerah Ancol, Pademangan, Jakarta Utara.
Pelakunya adalah bos mereka.
"Ini yang saya pikir kepolisian nanti dalam pengusutannya bisa lebih memiliki perspektif korban, sehingga ada aspek pemerataan dalam memberikan hukuman kepada pelaku," tutur Bahrul saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/3/2021).
Bahrul menilai, dalan kasus di Ancol, ada relasi yang tidak setara antara korban dan pelaku.
"Sebenarnya korban menyadari kalau dia sedang mengalami pelecehan, tapi karena posisi dia lebih lemah daripada pelaku maka ada ketakutan seperti takut dipecat atau mengalami kekerasan yang lebih berat," kata Bahrul.
Ia mengatakan, perspektif korban perlu dipakai polisi agar tidak menyalahkan perempuan atau meremehkan kasus tersebut.
"Jadi polisi tidak boleh misalkan menyalahkan korban kekerasan seksual dengan alasan apapun, seperti menyalahkan pakaian korban dan sebagainya," ucap Bahrul.
"Contoh lain aparat yang tidak memiliki perspektif korban adalah; menganggap remeh atau menganggap biasa saja kasus kekerasan seksual," sambungnya.
Berdasar catatan Komnas Perempuan, ada 550 kasus pencabulan yang dikumpulkan selama 2019. Sebanyak 55 kasus di antaranya dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya.
Total ada 431.471 kasus kekerasan terhadap Perempuan. Sebanyak 75 persen kasus di antaranya terjadi di ranah privat atau rumah tangga dan 25 persen terjadi di ranah publik atau komunitas.
Sebelumnya, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Metro Jakarta Utara twlah menangkap JH (42) pelaku pelecehan seksual karyawatinya, yakni DF (25) dan EFS (23).
DF mengaku telah bekerja di perusahaan tersebut sejak Maret 2020. Namun pada Agustus DF diangkat sebagai sekretaris JH.
Setelah itu DF beberapa kali mengalami pelecehan. DF mengaku tak berani melawan lantaran JH sering membawa senjata tajam.
"Kalau mengancam, dia tidak mengancam tapi dia sering membawa keris di belakang sakunya," ujar DF.
Sementara EFS mengaku JH melakukan percehan terhadapnya ketika ruang rapat dalam kondisi sepi.
"Iya di kantor saat meeting di ruangan meeting, saat ruangan itu sepi. Karena pintunya itu pake kayak akses gitu jadi hanya bisa dibuka dari dalam, orang dari luar enggak bisa masuk," tutur EFS.
Wakapolres Metro Jakarta Utara AKBP Nasriadi mengungkapkan, ada dua orang karyawati lain diketahui menjadi korban pelecehan oleh JH.
Seperti dua korban sebelumnya, kedua korban lain bekerja sebagai sekretaris.
Namun, kedua korban itu tidak mau melapor ke polisi. Bahkan, mereka juga enggan menjadi saksi.
"Saat ini keduanya tidak mau melaporkan dan dijadikan saksi," kata Nasriadi di Mapolres Metro Jakarta Utara, dilansir dari Tribun Jakarta, Rabu (3/3/2021).
Kedua korban lain enggan berurusan dengan kasus tersebut lantaran telah memiliki kehidupan pribadi.
Salah satu korban terkini juga telah menetap di Bali. Meski demikian, pihak kepolisian telah mendapat pengakuan dari JH bahwa ia juga melecehkan AA dan BB saat jam kerja.
"Pelaku mengakui bahwa AA sempat ditelanjangi," kata Nasriadi.
Pelaku, kata Nasriadi, mengaku bisa meramal. Modus itu dipakai saat beraksi.
"Modus operandi yang dilakukan tersangka terhadap korban ini dengan mengaku sebagai peramal atau orang pintar yang bisa meramal nasib orang dan rejeki seseorang," tutur Nasriadi.
Saat meramal, lanjut Nasriadi, JH memaksa untuk menyentuh bagian tubuh korban.
"Korban dibujuk rayu dengan akan meramal dan sebagainya tetapi ada unsur pemaksaan dengan cara menyentuh bagian vital atau organ sensitif di tubuh korban dan ini dilakukan sering, artinya sudah banyak sekali," paparnya.
Tak hanya itu, kata Nasriadi, pelaku juga mengajak korban untuk mandi bersama. Namun, korban mampu menolak permintaan mesum sang mantan bos.
"Mereka diajak mandi bareng artinya untuk membuka aura atau untuk membuka hal-hal positif di tubuhnya, kemudian ditolak oleh kedua korban," kata Nasriadi.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/04/19053241/kasus-pelecehan-2-karyawati-oleh-bos-komnas-perempuan-polisi-harus-pakai