JAKARTA, KOMPAS.com - Istilah “generasi sandwich” populer di tengah masyarakat Indonesia karena banyak generasi produktif saat ini terjebak dalam situasi menopang beban ganda, layaknya isi sandwich.
Generasi sandwich ini terimpit di antara dua generasi, atas dan bawah, dan mau tidak mau harus membiayai hidup dua generasi tersebut termasuk diri mereka sendiri.
Makan di warteg demi mengongkosi orangtua dan adik
Elizabeth (26) adalah satu dari sekian anak muda produktif yang bernasib seperti sandwich. Ia harus menanggung biaya bulanan orangtua, adik, dan mengongkosi hidupnya sendiri.
Dengan gaji Rp 11 juta, mestinya ia bisa “memanjakan” diri sendiri dan memikirkan tabungan masa depan.
Namun, posisinya sebagai generasi sandwich membuat Elizabeth harus membagi uang tersebut untuk orangtua dan adik.
Sebanyak Rp 4 juta dari gajinya diberikan untuk uang bulanan orangtua, Rp 1 juta untuk rekening listrik orangtua, dan Rp 1,5 juta untuk adiknya. Belum lagi uang untuk operasional mobil ayahnya dan lain sebagainya.
Elizabeth sendiri hanya kebagian Rp 3,5 juta. Uang itu dipakai untuk uang kos Rp 1,5 juta per bulan dan kebutuhan makan serta biaya bensin sepeda motor tuanya Rp 2 juta.
”Hidup dengan Rp 2 juta sebulan berat sekali. Biasanya beli makanan lewat aplikasi, sekarang stop, mahal banget. Cukup makan di warteg dekat kos,” ujarnya, dilansir dari Kompas.id.
Biaya untuk keluarga tembus Rp 20 juta
Beban berat juga ditanggung Saraswati (36), karyawan bidang pemasaran sebuah perusahaan teknologi. Gaji perempuan lajang ini cukup besar, di atas Rp 40 juta.
Namun, beban yang mesti ditanggung juga besar. Ia mesti membiayai kedua orangtua dan keponakannya.
Biaya yang ditanggung mulai dari biaya harian, cicilan mobil ayahnya, biaya jalan-jalan ibunya, hingga uang pangkal masuk sekolah keponakannya.
Pengeluaran untuk keluarga setiap bulan bisa tembus Rp 20 juta.
Saras sendiri mengaku, gaya hidupnya biasa saja. Ia tak terlalu senang jajan, ataupun belanja barang mahal.
Dia juga tidak mempunyai obsesi memiliki aset tak bergerak, seperti rumah ataupun tanah. Uang sisa gaji juga mengalir ke tabungan untuk hari tua.
Namun, dengan pengeluaran keluarga yang kian tinggi sejak pandemi, kecepatannya menabung terus melambat. Ia pun mesti memikirkan ulang rencana pensiun dini di usia 40 tahun.
”Sepertinya proyeksi pensiun mundur lima atau enam tahun,” katanya.
Jungkir-balik biayai arangtua dan anak
Situasi Chandra (36) tak jauh berbeda. Sejak tahun 2012, Chandra sudah menopang orangtuanya.
Bisnis ayahnya meredup, menyisakan utang ratusan juta rupiah.
”Gue merasa harus ikut menyelesaikan masalah itu. Bokap jual mobil, kekurangannya gue patungan sama abang-abang gue,” katanya.
Tahun 2013 Chandra menikah dan mempunyai anak. Tanggungannya bertambah.
Dia berhemat agar bisa memenuhi kebutuhan anak dan istri, juga menopang orangtuanya. Itu dijalani sekitar tiga tahun.
Menjelang pandemi, setelah punya dua anak, Chandra bercerai. Salah satu keputusan sidang mewajibkan dia menanggung biaya pendidikan anak, ditambah kebutuhan sehari-hari Rp 4 juta per bulan.
”Kebutuhan sehari-hari ini tiap tahun bertambah, karena ada klausul inflasi 10 persen per tahun,” ujarnya.
Ketika pandemi, pendapatan orangtua dari apartemen hilang karena tak ada penyewa.
Dia mesti jungkir-balik lagi untuk menanggung pengeluaran tambahan untuk orangtua, Rp 1,5 juta per bulan, di luar patungan bayar listrik, internet rumah, dan kebutuhan mendadak lain.
Sejak pandemi, dia makin terjepit. Usaha rintisannya berupa pelantar gim daring kehilangan investor.
Jabatan mentereng sebagai chief communication officer tak ada nilainya, alias tak bergaji.
Cara memutus generasi sandwich
Pengelola keuangan Aliyah Natasha mengatakan, cara satu-satunya untuk memutus rantai generasi sandwich adalah dengan mengelola keuangan secara matang sehingga memiliki dana untuk hari tua.
Ada tiga tahapan yang dilewati untuk merencanakan keuangan hari tua ini, yaitu tahapan perencanaan keuangan, investasi, dan monitor.
Ada baiknya, dana yang ada saat inidisalurkan untuk beberapa pos kebutuhan, termasuk kebutuhan hari tua. Dana tersebut bisa kemudian digunakan untuk investasi dan membangun aset yang memberi imbal positif.
“Ini saatnya investasi dan menambahkan nilai aset. Caranya adalah cari investasi atau aset yang memberikan return produktif, dan pahami risikonya,” ujar Aliyah pada Agustus 2020 lalu dalam sebuah diskusi daring.
Setelah melakukan investasi jangka panjang, jangan lupa untuk terus memonitor investasi maupun aset tersebut.
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul "Akrobatik ”Generasi ’Sandwich’”. (Kompas/ Dwi As Setianingsih, Soelastri Soekirno)
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/11/21/10473511/generasi-sandwich-korbankan-kepentingan-pribadi-demi-biayai-orangtua-adik