JAKARTA, KOMPAS.com - Tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement (E-TLE) dinilai belum efektif diterapkan untuk semua jenis pelanggaran lalu lintas.
Sebab, ada beberapa jenis pelanggaran yang disebut-sebut hanya bisa ditilang secara manual, bukan melalui kamera pengawas CCTV.
Karena itu, kebijakan Polri untuk menghapus permanen tilang manual dinilai perlu dipertimbangkan lagi, atau jika memang Polri sedang ingin memperbaiki citra mereka, setidaknya E-TLE dipasang di setiap persimpangan yang ada lampu merah.
Dengan demikian, penerapan kebijakan itu terkesan tidak setengah-setengah dan sudah matang. Sehingga, apa yang menjadi alasan penerapan E-TLE dapat tercapai.
Selain itu, pemasangan E-TLE juga dinilai perlu diterapkan di seluruh pelintasan sebidang kereta api karena sangat membahayakan nyawa pengendara yang sering menerobos.
Butuh tilang manual
Wakil Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Deddy Herlambang berpendapat bahwa E-TLE dapat meminimalisir praktik korupsi yang biasa dilakukan oknum polisi saat tilang manual pengendara di jalanan.
Akan tetapi, kata Deddy, ada empat kategori pelanggar yang sepertinya hanya efektif ditindak melalui tilang manual.
Ia lantas mempertanyakan bagaimana cara polisi menilang pelanggar keempat kategori, yang pertama yaitu pelanggaran untuk kendaraan yang tidak memiliki pelat nomor.
"Pertama bahwa tidak semua kendaraan kita itu benar datanya. Bisa dilihat di jalan banyak motor-motor sering tidak ada pelat nomornya, nah itu bagaimana cara menilangnya," kata Deddy, Senin (31/10/2022).
Menurut Deddy, akan menjadi hal yang tidak adil bagi pengendara yang tertib memperbarui identitas kendaraannya dengan pengendara yang tidak tertib.
"Sementara yang kendaraannya bodong, enggak ada plat nomornya entah itu di depan atau di belakang, kenapa lolos dari tilang," lanjut Deddy.
Adapun kategori kedua yakni kendaraan dengan pelat nomor palsu atau bodong. Terkadang beberapa kendaraan roda dua maupun empat acapkali pelat nomornya tidak sesuai dengan data.
Deddy juga mempertanyakan bagaimana cara polisi untuk menilang kendaraan yang demikian nantinya.
"Banyak juga mobil bodong, mobilnya ada, fisiknya ada, tapi plat nomornya beda, itu gimana caranya menilangnya? Pakai E-TLE? sementara data-datanya enggak ada. Berarti kan tidak adil itu, justru kasihan pada kendaraan yang memang benar-benar valid data pemiliknya," jelas Deddy.
Kemudian kategori ketiga, yaitu truk over dimension/overloading (odol). Untuk kategori ini Deddy bertanya, bagaimana caranya menilang truk dengan muatan berlebihan jika E-TLE diterapkan.
Sedangkan truk odol bisa diukur jika dilihat langsung secara kasat mata bahwa barang yang dibawa truk tersebut telah melebihi kapasitasnya.
"Kalau mau menilang mungkin polisi tidak bisa menghitung beban, paling tidak secara over dimentionnya truk odol kan harus diukur secara manual, setidaknya polisinya harus datang, nah itu bagaimana cara menilangnya kalau tidak secara manual lagi?" tanya Deddy.
Terakhir, yaitu mengenai penilangan pengendara dengan knalpot racing. Deddy ragu jika penilangan secara elektronik tidak dapat memindai pengendara yang melanggar karena suaranya tidak terekam kamera CCTV.
Padahal suara knalpot racing cukup berisik dan sangat menggangu lingkungan di sekitarnya.
"Kalau memakai CCTV misalnya kalau knalpot racing apakah dengar suaranya? Kalau secara fisik kan polisi tahu oh ini perlu di tilang suaranya berisik menganggu lingkungan. Harus ada aspek keadilan dan kesetaraan, tidak serta-merta semua E-TLE," katanya.
Untuk perbaikan citra Polri
Deddy menilai bahwa penghapusan tilang manual merupakan langkah institusi kepolisian dalam membersihkan citra mereka yang babak belur karena dua kasus besar.
Adapun kedua kasus yang menjadi sorotan penilaian masyarakat Indonesia terhadap kredibilitas Polri tersebut yaitu kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang menjerat Ferdy Sambo dan kasus peredaran narkoba yang menyangkut Teddy Minahasa.
"Kalau menurut saya ini masalah makro dan juga ini untuk meningkatkan citra kepolisian karena citra kepolisian saat ini babak belur, karena kasus Ferdy Sambo dan bintang dua tertangkap sebagai bandar," ucap Deddy, Senin.
Istilahnya, kata Deddy, polisi sekarang sedang memperbaiki ranah penegakan hukum di mata publik.
Dimulai dari hal kecil khususnya penilangan, karena banyaknya ditemukan oknum yang melakukan pelanggaran saat penilangan di jalan.
"Jadi kalau mau meningkatkan atau membersihkan citra polisi atau pamor mungkin salah satu yang paling efektif adalah meniadakan tilang manual dulu," jelas Deddy.
Akan tetapi, ia menilai bahwa langkah Polri menerapkan tilang elektronik sepenuhnya menggantikan tilang manual itu kurang efektif.
Karena, dikhawatirkan itu akan menjadi tidak adil bagi pengendara yang tertib dengan terus memperbarui identitas pelat nomornya.
Sementara pengendara dengan pelat nomor bodong atau bahkan tidak dilengkapi pelat nomor dapat terlepas dari sanksi pelanggaran lalu lintas.
"Justru tidak adil bagi mereka yang bener valid datanya, tapi mereka yang tidak valid yang bodong motornya mobilnya jadi bisa melenggang enak. Mobil tidak dibawa, tidak ditahan misalnya atau tidak diproses itu bagaimana," kata Deddy.
"Orang yang tertib bayar pajak lalu nomornya benar lalu melanggar justru harus kena (tilang), sementara mereka yang mobilnya bodong malah bebas, itu saya pikir ketidakadilannya di sana," ujar Deddy.
Efektif di lampu merah dan pelintasan kereta
Agar penerapan E-TLE akan semakin efektif meski hanya melalui kamera yang terpasang, Deddy meminta pemasangannya dilakukan di setiap lampu merah yang ada di setiap sudut Jakarta.
"Kalau mau lebih efektif memang harus ditambah sistemnya. Kalau bisa semua sudut kota, semua di pertigaan yang ada traffic light wajib ada E-TLE-nya," kata Deddy.
Ia juga menyoroti perlunya dipasang E-TLE di area yang rawan kecelakaan, yaitu di pelintasan bidang kereta api.
Dari tak terhingga jumlah pelintasan yang ada di Jakarta, Deddy meminta setidaknya pemasangan E-TLE dilakukan di titik-titik pelintasan yang telah resmi terdata di Dinas Perhubungan.
"Pelintasan sebidang yang resmi terdaftar di dishub atau kemenhub itu wajib diberikan CCTV, karena justru keselamatan paling banyak yang di pelintasan sebidang kereta api (rawan)," jelas Deddy.
Menurut Deddy, justru pelanggar di pelintasan ini yang harus dipantau dan diberi efek jera.
Karena jika terjadi pelanggaran lalu lintas atau pengendara menerobos early warning system (EWS), maka dapat berakibat fatal bahkan meninggal.
"Kalau orang melanggar di lampu merah melanggar untuk diri sendiri, tapi kalau mereka melanggar di pelintasan mereka pasti mati pasti terjadi fatalitas. Justru ini tidak pernah disentuh tilang," ungkap Deddy.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/11/01/09411911/tilang-elektronik-dinilai-belum-efektif-diterapkan-untuk-semua-jenis