Pernyataan ini dilontarkan Teddy lantaran JPU menganggap prestasinya di Polri hanya pencitraan pribadi.
Padahal, kata Teddy, untuk mendapatkan kenaikan pangkat, setiap anggota kepolisian harus memiliki prestasi, jasa pengabdian, dan penghargaan.
"Ketika saya menjelaskan tentang penghargaan dan jasa-jasa yang saya terima, sebagaimana pertanyaan dari majelis hakim Yang Mulia, malah dibilang hanya untuk 'pencitraan pribadi'," ujar Teddy.
"Patutlah saya menyimpulkan bahwa jaksa penuntut umum penyandang tunaempati dan hanya memiliki syahwat serta ambisi untuk menjebloskan saya," sambung dia.
Teddy berkata, selama berkarier di kepolisian, dia mencapai pangkat Inspektur Jenderal (Irjen) bukan tanpa prestasi atau pengabdian sama sekali.
Sebab, jenjang kepangkatan dinilai berdasarkan kinerja setiap personel kepolisian. Karena itu, Teddy menganggap penilaian jaksa terhadap prestasinya yang disebut pencitraan diri tidaklah adil.
"Namun, dari persepsi jaksa penuntut umum ini semakin menguatkan tesis bahwa saya memang dibidik untuk dibinasakan dan pesanan serta konspirasi itu benar-benar nyata dalam kasus ini," papar Teddy.
Hal ini, sambung dia, terlihat ketika JPU tak menanggapi nota pembelaan soal latar belakang keluarganya yang tidak mampu.
Dalam persidangan sebelumnya, JPU menilai segudang prestasi dan reputasi mantan Kapolda Sumatera Barat itu tak sebanding dengan perbuatannya menilap barang bukti sabu.
Hal itulah yang membuat JPU menolak semua pleidoi yang disampaikan Teddy dalam agenda pembacaan replik pada Selasa (18/4/2023).
JPU Iwan Ginting menyebutkan, perbuatan Teddy dalam kasus peredaran narkoba telah mencoreng nama baik aparat penegak hukum.
"Apalah gunanya segudang pestasi dan reputasi yang hanya bisa dirasakan untuk kepentingan dan pencitraan pribadi semata," ujar Iwan.
"Tidak sebanding dengan perbuatan kejahatan narkoba yang telah menghancurkan berjuta sumber daya manusia atau generasi bangsa sebagai sendi-sendi dan pondasi kehidupan bangsa," imbuh dia.
Sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia, Teddy justru melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Iwan menyatakan, kejahatan narkoba telah mengubur cita-cita generasi penerus bangsa sehingga pihaknya menuntut hukuman mati terhadap Teddy Minahasa.
"Mimpi anak bangsa tersebut dengan pahit telah dikubur oleh merajalelanya candu narkoba di negara tercinta ini khususnya di kalangan generasi muda akibat perbuatan penjahat narkoba yang tidak lebih dari pengkhianat bangsa dan pengkhianat rakyat Indonesia," urai Iwan.
Jaksa pun meminta agar majelis hakim menolak pleidoi yang disampaikan Teddy maupun tim penasihat hukumnya.
JPU mendakwa Teddy Minahasa bersalah melakukan tindak pidana, yakni turut serta melakukan, tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, dan menyerahkan narkotika golongan I bukan tanaman, yang beratnya lebih dari 5 gram.
Teddy diketahui dituntut hukuman mati atas perbuatannya dalam pusaran narkoba. Teddy dinilai bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 114 Ayat 2 subsider Pasal 112 Ayat 2, juncto Pasal 132 Ayat 1, juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Menurut jaksa dalam dakwaannya, Teddy terbukti bekerja sama dengan AKBP Dody Prawiranegara, Syamsul Maarif, dan Linda Pujiastuti (Anita) untuk menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara penyebaran narkotika.
Narkotika yang dijual itu merupakan hasil penyelundupan barang sitaan seberat lebih dari 5 kilogram.
Dalam persidangan terungkap bahwa Teddy meminta AKBP Dody mengambil sabu itu lalu menggantinya dengan tawas.
Awalnya, Dody sempat menolak. Namun, pada akhirnya Dody menyanggupi permintaan Teddy.
Dody kemudian memberikan sabu tersebut kepada Linda. Setelah itu, Linda menyerahkan sabu tersebut kepada Kasranto untuk kemudian dijual kepada bandar narkoba.
Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa.
Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/04/28/15384231/prestasinya-di-polri-dianggap-pencitraan-teddy-minahasa-jaksa-penyandang