JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaku penembakan di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada Selasa (2/5/2023) diketahui bernama Mustofa (60).
Adapun Mustopa merupakan residivis di Lampung pada 2016 perusakan kantor Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung.
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, berpandangan status residivis terhadap Mustopa itu justru memunculkan dua persoalan.
"Pertama, dalam putusan hakim sebelumnya, apakah hakim juga mendorong pelaku untuk menjalani rehabilitasi atas indikasi ketidakwarasannya?" ungkap Reza dalam penjelasan yang diterima Kompas.com, Kamis (4/5/2023).
Menurut Reza, perintah rehabilitasi sedemikian rupa tercantum dalam pasal 44 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Beleid itu berbunyi:
Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu di- masukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
"Jadi, tidak berhenti hanya pada vonis bersalah dan menentukan hukuman bagi terdakwa," ucap Reza.
"Putusan hakim sepatutnya memuat keharusan bagi terdakwa yang punya masalah mental untuk berobat," tutur dia melanjutkan.
Persoalan kedua, Reza menilai Mustopa yang merupakan pelaku atau terpidana semestinya juga diselenggarakan penakaran risiko atau risk assessment oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
"Dengan penakaran risiko, otoritas penegakan hukum bisa memprediksi bahwa pelaku berisiko tinggi mengulangi perbuatan jahatnya," kata dia.
Selaku korban, menurut Reza, MUI dan publik patut mendapat penjelasan bahwa seberapa jauh lembaga-lembaga penegakan hukum, utamanya Mahkamah Agung dan Kemenkumham, sudah memperlakukan pelaku secara tepat.
"Penembakan dapat ditangkal, MUI pun dapat terlindungi sehingga tidak menjadi korban," ucap Reza.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/05/04/15044851/pelaku-penembakan-kantor-mui-pusat-seorang-residivis-pengamat-pertanyakan