JAKARTA, KOMPAS.com - Hardingga (30), masih berusia lima tahun saat ayahnya, Yani Afri, dihilangkan paksa menjelang pemilihan umum 1997.
Selama bertahun-tahun, Hardingga sempat hidup dengan mengetahui bahwa ayahnya sudah meninggal dunia.
Hardingga baru diberitahu tragedi yang menimpa sang ayah saat ia sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).
"Ibu saya bilang 'Mama mau cerita', kata dia. 'Sebenernya Bapak belum dinyatakan meninggal'. Saya kaget selama ini keluarga, lingkungan, semua orang bilang kalau saya anak yatim," kata Hardingga, menirukan percakapan dengan ibunya, Tinah.
Tinah selanjutnya membeberkan apa yang terjadi pada ayah Hardingga.
Tiga hari menjelang pemilihan umum1997, Yani Afri, dihilangkan paksa dan dipisahkan dari keluarganya.
Penghilangan paksa terjadi ketika Yani pamit dari rumahnya untuk menuntut pergantian kepemimpinan yang kala itu dijabat Presiden Soeharto.
"Waktu itu bapak saya pamit ke ibu saya, ngomongnya mau kampanye. Sampai ayah saya pergi dari rumah, dan dengar-dengar ayah saya diculik dengan alasan katanya membuat huru-hara," papar Hardingga.
Yani yang menginjak usia 26 tahun itu diculik dengan meninggalkan tiga anak.
Usai kejadian itu, Tinah pun memutuskan untuk menarik diri dari keluarga sang suami.
Ia lalu pindah rumah dengan membawa anak-anaknya ke wilayah Tangerang, dan bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya setelah kepergian sang suami.
"Pada waktu itu juga orangtua saya belum menceritakan apa-apa. Cuma orangtua saya (peringatin) 'jangan main jauh-jauh ntar diculik' selalu bilang seperti itu. (Katanya) 'jangan main jauh-jauh nanti ditembak sama orang.' Saya sudah mengerti ketika sudah dewasa, orangtua saya mungkin trauma," jelas Hardingga.
Kenangan pada sosok sang ayah
Meski kehilangan Yani di usia yang sangat kecil, namun samar-samar Hardingga masih mengingat sosok ayahnya itu.
Hardingga menyebut ayahnya gemar bermusik dan juga sangat mencintai binatang.
"Yang saya ingat bapak saya orang yang suka main musik, suka main gitar, dan suka hewan. Makanya di rumah dulu enggak heran suka bawa monyet, bawa anjing karena memang bapak saya suka melihara hewan," ujar Hardingga saat ditemui Kompas.com di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Rabu (24/5/2023).
Di mata Hardingga, Yani sangat bertanggung jawab kepada keluarga.
Yani menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai sopir angkutan kota (angkot) jurusan Tanjung Priok-Cakung Cilincing atau Tanjung Priok-Senen.
Biasanya, Yani mulai mencari penumpang mulai pukul 21.00 WIB, dan pulang di pagi hari. Menurut Hardingga, ayahnya selalu memberikan uang hasil jerih payahnya kepada neneknya.
"Saya ingat ayah saya setiap kali pulang narik (angkot) selalu ngasih uang untuk nenek saya. Meskipun ayah saya udah berkeluarga, tapi selalu menyisihkan uang untuk nenek saya," tutur dia.
Di antara adik dan kakaknya, Yani dianggap paling perhatian dengan keluarga besarnya. Oleh sebab itu, Yani juga menjadi anak kesayangan di keluarganya tersebut.
"Kebetulan bapak saya bukan orang yang bergerak di bidang politik, bukan aktivis, bukan mahasiswa dan lain-lain. Bapak saya cuman seorang sopir angkot, simpatisan PDI pada waktu itu," kata dia.
Tak pernah pulang
Hardingga menyampaikan, neneknya yakni Tuti Koto berupaya untuk terus mencari keberadaan Yani.
Di tengah kekalutan, Tuti mencari keberadaan Yani ke sana kemari. Tuti sempat bertanya kepada sejumlah pihak termasuk ke kantor polisi hingga Kodim TNI.
"Suasananya jelas mencekam. Sebenarnya kami belum dapat kabar, kami dapat kabar kalau ayah saya benar-benar diculik itu dari mami, dari nenek saya," ucap Hardingga.
Tuti kemudian mengadukan kasus penghilangan paksa Yani ke lembaga bantuan hukum. Tak sampai di situ, ia juga menemui aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib.
Hardingga sendiri tak ingin menyebut ayahnya sebagai aktivis ataupun orang poitik. Dia berujar, Yani saat itu hanya menginginkan "perubahan."
"Ayah saya itu memang simpatisan PDI, yang jelas pengin ada perubahan dan ganti presiden yang pada saat itu presidennya masih Soeharto," imbuh dia.
Mulanya, pihak keluarga menduga sosok yang menculik Yani ialah tim penembakan misterius atau Petrus. Sebab, pada waktu itu Petrus masih merajalela.
Namun, setelah menelusuri kesana kemari, keluarga berkesimpulan pelaku penculikan adalah Tim Mawar dari Komando Pasukan Khusus (Kopasssus) TNI AD.
"Pada waktu itu karena nenek saya, memang menelusuri semuanya, sampai akhirnya nenek saya sepakat kalau ayah saya memang hilang bersama Tim Mawar," katanya lagi.
Menurut Hardingga, Tuti juga konsisten memperjuangkan keadilan bersama Lembaga Kontras (komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan).
Setelah Tuti meninggal di tahun 2012, Hardingga lantas melanjutkan perjuangannya untuk menemukan Yani Afri.
"Saya perlu ada kejelasan dari pemerintah, kalau memang bapak saya masih ada ya di mana penjaranya. Kalau memang sudah meninggal ya kasih tahu di mana kuburannya," ungkap Hardingga.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/05/28/07495711/hardingga-sempat-mengira-ayahnya-meninggal-ternyata-diculik-jelang-pemilu