JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa warga Jakarta mengalami kasus yang tak mengenakkan dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Mereka tiba-tiba didenda puluhan juta rupiah karena mendadak dituding menggunakan segel meteran palsu. Beberapa kisah pelanggan PLN ini sempat viral di media sosial.
Kepala Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo menyoroti lemahnya posisi konsumen dalam banyaknya kasus warga didenda PLN akibat masalah meteran listrik.
"Posisi konsumen lemah, PLN kan sebagai single perusahaan, konsumen enggak ada pilihan lain," kata Rio kepada Kompas.com dalam Zoom meeting-nya, dikutip Selasa (17/10/2023).
Rio menuturkan, YLKI juga selama ini kerap mendapati aduan serupa dari konsumen PLN yang didenda akibat masalah meteran listrik.
Kebanyakan dari mereka sama-sama bingung dengan tudingan serta besaran denda yang dibebankan. Sebab, mereka merasa meteran listrik itu selalu dicek oleh staf PLN.
Tak punya alternatif lain
Posisi konsumen dinilai lemah karena tidak memiliki alternatif untuk pindah ke perusahaan penyedia listrik lain. Proses pembuktian meteran asli atau palsu dinilai sangat bias, karena dilakukan oleh PLN sendiri.
Menurut Rio, harusnya ada pihak ketiga yang netral untuk menentukan siapa yang bersalah dalam kasus yang melibatkan antara pelanggan dan penyedia jasa.
"Dalam proses pembuktiannya tidak membawa pihak ketiga, tidak transparan. Itu yang sering dikeluhkan konsumen. Ternyata yang mengecek (meteran asli atau palsu) petugas PLN sendiri," ujar Rio.
"Kita enggak tahu di sana itu dibungkus terus dibawa ke kantor PLN. Terus hasil meterannya itu ada indikasi pengaturan dan sebagainya," tutur dia lagi.
Dituntut transparan
Kisah seorang warga berisial AS (66) yang dikenakan denda Rp 33 juta oleh PLN karena menggunakan kilowatt per hour (KWH) meter segel palsu menambah panjang daftar warga yang kena sanksi PLN.
AS yang merupakan warga Cengkareng, diduga mengganti segel KwH meter-nya pada 2016. Hal itu kemudian ditemukan oleh petugas PLN dan AS kini didenda puluhan juta rupiah.
"Soal pembuktian, soal pengambilan sampel dan sebagainya. Ini harus dilakukan dengan transparan sehingga konsumen dapat informasi yang jelas, benar dan jujur," ucap Rio.
Pembuktian secara transparan diperlukan karena kasus yang dialami oleh AS ini bukan pertama kalinya terjadi.
Terlebih, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh AS sudah dilakukan sejak tahun 2016.
Hal ini pun menjadi sulit dibuktikan karena PLN baru menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut setelah 7 tahun terlewati.
Pembuktian dengan tim independen juga diperlukan agar PLN bisa tahu apakah yang dituduhkan kepada AS memang murni pelanggaran atau tuduhan tidak berdasar.
"Sehingga tidam menimbulkan penafsiran, 'Wah ini diatur dan sebagainya'. Nah itu jangan sampai terjadi," jelas Rio.
Bukan kasus pertama
Sharon Wicaksono, warga Bandengan, Penjaringan, Jakarta Utara, tiba-tiba juga ditodong denda sebesar Rp 68 juta oleh PLN karena tudingan penggunaan segel meteran palsu.
Sharon membagikan cerita ini lewat akun Instagram pribadi @sharonwicaksono pada 22 Juni 2022.
Sharon menceritakan awalnya rumahnya didatangi oleh petugas PLN yang melakukan pengecekan seperti biasa. Namun, saat itu Sharon sedang tidak berada di rumah.
Sharon pun merasa diperas oleh pihak PLN. Ia juga sempat diancam akan diputus aliran listrik jika tidak bayar denda.
Ia pun mempertanyakan kenapa segel meteran yang sudah terpasang sejak tahun 1993 itu baru dipermasalahkan sekarang.
Tak terima ditodong denda Rp 68 juta, Sharon menyampaikan keberatannya kepada PLN. Perusahaan pelat merah merah itu pun mengundang Sharon untuk mediasi.
Dalam proses mediasi, PLN akhirnya membatalkan denda Rp 68 juta terhadap Sharon karena tidak terbukti melanggar aturan.
Kasus serupa juga menimpa Lay Efina. Ia juga dikenai denda Rp 51 juta lantaran gudang tokonya di Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Barat, disebut memiliki KwH dengan segel meteran palsu.
Efina keberatan dengan denda tersebut. Sebab, selama delapan tahun menggunakan gudang tersebut, ia mengaku tidak pernah mengutak-atik meteran tersebut.
Audiensi kemudian dilakukan dalam rapat yang dihadiri tim dari PLN dan Ditjen Ketenagalistrikan.
Dalam rapat itu dijelaskan bahwa denda Rp 51 juta berasal dari perhitungan akibat pelanggaran yang masuk golongan 2, artinya memengaruhi alat ukur.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/10/18/05050061/lemahnya-posisi-pelanggan-pln-yang-berujung-denda--masalah-meteran