Pembeli yang datang ke pasar tradisional semakin menurun seiring dengan perkembangan zaman.
"Motor perkiraan saja sudah sedikit. Sekarang posisi toko saya di lantai dua. Ibu-ibu lebih pilih beli yang di bawah," kata Suripto saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (18/10/2023).
"Kalau zaman dulu, Pasar Koja enggak tingkat. Dulu mah ramai," lanjut Suripto.
Akar persoalan bukan soal daya beli saja. Suripto mengatakan pasar digital dan menjamurnya warung sayur di pinggir jalan juga berperan dalam membuat pasar tradisional sepi.
Kondisi ini membuat Suripto terpaksa memecat empat karyawan dan meperkerjakan anaknya demi bertahan di tengah gempuran saingan.
"(Dagang) sama anak. Kalau dulu, karyawan banyak, ada 4. Kalau sekarang, enggak ada. (Tidak dipekerjakan lagi karena) ya usahanya sudah makin kayak begini, ya mau bagaimana lagi?" ucapnya.
Turunnya omzet penjualan di Pasar Koja Baru juga dirasakan pedagang cabai rawit bernama Andri (27). Ia mengeluhkan soal pembeli yang semakin sepi.
"Iya sih, lumayan agak sepi. Kebanyakan kan orang sekarang belanjanya di rumah. Dulu kan ke pasar semua," kata Andri dalam kesempatan yang berbeda.
Sepinya pembeli di Pasar Koja Baru, menurut Andri, tidak berbanding lurus dengan harga cabai rawit yang mulai merangkak naik.
Harga cabai rawait merah dan cabai merah menyentuh Rp 60.000 per kilogram.
"(Sekarang) Rp 60.000 per kilogram. Mungkin penyebabnya karena enggak ada hujan, kemarau," kata Andri.
Dia pun menjadi semakin kesulitan. Harga bahan pokok naik, tetapi pembeli tidak ada.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/10/18/17530051/keluh-kesah-para-pedagang-di-pasar-koja-baru-harga-pangan-naik-dan