JAKARTA, KOMPAS.com - Menjadi guru bukanlah cita-cita Pak Wi. Tetapi garis hidup justru membawa pria bernama lengkap Wiyono Broto Soekarno (70) itu menjadi seorang pendidik selama 39 tahun terakhir.
Melalui sambungan telepon dengan Kompas.com di sela kegiatannya, Jumat (24/11/2023), Pak Wi bercerita, karier pertamanya, yakni menjadi seorang buruh di pabrik tekstil sekitar tahun 1973.
Kala itu, bekalnya hanyalah selembar ijazah dari Sekolah Teknik Menengah (STM) di Kota Surakarta. Delapan tahun lamanya ia bertahan di tengah ketidakpastian status sebagai pekerja pabrik tekstil yang berlokasi di Ciracas, Jakarta Timur.
"Karena politik kantor, saya dan beberapa teman akhirnya berhenti. Saat itu ada masalah yang membuat kami harus keluar," ucap Wiyono.
Sempat menganggur satu tahun sembari merintis usaha sablon kecil-kecilan, sekitar tahun 1981, pria kelahiran Klaten ini tiba-tiba menerima tawaran yang dalam perjalanannya banyak mengubah hidup.
Salah seorang customer usaha sablonnya ternyata adalah seorang kepala sekolah di SMPN 49 Jakarta (kini SMPN 171 Jakarta). Sang kepsek terpukau dengan desain batik Wiyono.
Pak Wi muda pun ditawari untuk menjadi guru mata pelajaran seni dan budaya di SMPN 49.
Bermodal nekat dan tekad merubah nasib, Pak Wi muda menerima tawaran itu, meskipun hanya lulusan STM.
Di masa awal memulai pekerjaan sebagai guru honor, gaji pertama yang diterima Pak Wi muda sebagai pengajar seni budaya adalah Rp 2.400 per bulan.
"Sebulan Rp 2.400 waktu saya mulai tahun 1981. Waktu itu saya sudah menikah dengan dua orang anak," ujar Wiyono.
Dengan upah tersebut, Wiyono harus menghidupi istri dan dua orang anaknya.
Beruntung, ia masih punya penghasilan tambahan dari usaha sablon yang telah dirintis sebelumnya.
Sehingga, gaji yang terbilang minim ini tidak mempengaruhi keputusan Pak Wi muda untuk menjadi guru. Sampai akhirnya ia diangkat sebagai aparatur sipil negara di tahun 1984.
"Besar kecilnya upah, kan saya tidak pernah terpikir ke situ karena alhamdulillah usaha sablon saya banyak yang menyenangi. Jadi hasil dari rumah (sablon) sudah berapa kali lipat dari honor saya," kata ayah dari empat anak itu.
Setahun mengajar, barulah ia mengambil kuliah jenjang diploma satu (D1) jurusan seni rupa, tepatnya di tahun berikutnya pada 1982-1983.
Jenjang pendidikan baru itu kemudian membawa Pak Wi masuk sebagai guru seni dan budaya di dua sekolah lain di Jakarta. Hal itu membuat keluarganya semakin baik kesejahteraannya.
Wiyono bercerita susah senangnya mengajar di masa-masa awal. Ia hanya menggunakan transportasi umum dan sepeda saja untuk bekerja ke tiga sekolah sekaligus pada waktu itu.
"Tahun 1981 saya ngajarnya enggak kayak sekarang, kan jalanan enggak seperti sekarang. Jalanan becek banget jadi harus nenteng sepatu, itu daerah Ciracas.
"Lalu, setelah tahun 1984, saya ikut rapelan mengajar, dapat SK mengajar kan ada gaji, saya beli Vespa tahun 1985," tutur pria kelahiran Klaten itu.
Kendati demikian, semangatnya tidak pernah surut untuk memberi pendidikan terbaik bagi anak bangsa.
Bahkan, meski sudah purnabakti, Wiyono tetap menjadi pengajar angklung di SMPN 27 Duren Sawit. Dengan begitu, hingga kini tercatat 39 tahun sudah lamanya Wiyono mengabdi sebagai tenaga pendidik PNS di Jakarta Timur.
Di usia yang tidak muda lagi, Pak Wi hanya berharap bisa terus mengabdikan diri untuk perkembangan seni budaya di kalangan remaja Indonesia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/11/26/18022831/cerita-pak-wi-jadi-guru-sejak-1981-gaji-pertama-rp-2400-hingga-beli-vespa