Petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) Utan Kayu Utara itu langsung memegang dadanya.
Kepada rekan kerjanya, Zubaidi mengeluhkan rasa sakit di bagian dada. Napasnya terasa sesak.
Melihat kondisi itu, teman Zubaidi menyuruhnya istirahat terlebih dahulu. Namun, ayah tiga anak ini menolak karena kotak suara yang harus diangkat masih menumpuk.
Terlebih, hari akan berganti beberapa jam lagi, pesta demokrasi warga Indonesia segera berlangsung pada 14 Februari 2024 pukul 07.00 WIB.
“Kata temannya, ‘Abang istirahat saja, ada hanyak kok ini yang angkat (logistik pemilu), jangan diteruskan’,” ujar istri Zubaidi, Tahiyat (53), menirukan percakapan suaminya dengan salah satu petugas PPSU Utan Kayu Utara, Kamis (15/2/2024).
“Eh dia (Zubaidi) bilang, ‘Gue enggak mau istirahat, pengin selesaikan pekerjaan gue, kalau ditunda-tunda, kelamaan, enggak beres-beres. Entar logistik pemilu malah terlambat, kita yang salah’. Ya akhirnya dikerjain lagi sama dia, diangkat lagi kotak suara,” tambah Tahiyat.
Tak berselang lama, Zubaidi makin sesak napas. Akhirnya dia duduk lalu berbaring. Kepalanya berbantal kardus coklat muda.
Teman kerjanya langsung menyingkapkan seragam PPSU Zubaidi sampai atas dada untuk mengoleskan minyak angin.
Zubaidi kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur.
Mengetahui kabar tersebut, keluarga bertolak dari kediaman ke rumah sakit dengan jarak sekitar tiga kilometer.
Rasa cemas Tahiyat dan anak sulungnya, Diztio Indianto (28), menghantui sepanjang perjalanan.
“Belum sampai, baru turun di parkiran, bapak polisi samperin, dia nanya, 'Keluarga Bapak Zubaidi?'. Ibu yang dikasih tahu bapak sudah enggak ada (meninggal), (ibu) langsung pingsan,” ujar Tio, sapaan Diztio.
Mendadak menghadap Sang Pencipta
Tio tidak menyangka bahwa Zubaidi menghadap Sang Pencipta. Sebab, beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir, sang ayah bercanda dan makan bersamanya.
Tahiyat juga merasakan hal serupa. Setelah matahari terbit dari ufuk timur, Zubaidi siap-siap berangkat kerja. Ia tak lupa sarapan dan berpamitan kepada teman hidupnya.
“Pagi-pagi berangkat kerja itu masih sehat, masih segar. Dzuhur sempat pulang, untuk makan siang dan shalat dzuhur. Saya masakin mi instan. Makan lagi tuh sebelum mau berangkat, bercanda sama anak saya di kamar,” kata Tahiyat.
“Berangkat lagi, terus beberapa saat, pulang, bawa berkat, kasih ke anak bontot. Kalau PPSU yang lain kan makan di kelurahan, nah dia dibawa pulang, buat makan anaknya. Dia istirahat lagi, lalu berangkat kerja lagi naik motor,” lanjut dia.
Rupanya, Selasa sore itu merupakan pertemuan terakhir keluarga dengan Zuhaidi sebelum mendiang mengembuskan napas terakhir.
Pada momen terakhir itu, Zuhaidi berpamitan seperti biasa untuk bekerja mendistribusikan logistik demi berlangsungnya pemungutan suara di Utan Kayu Utara.
Riwayat sesak napas
Setelah kepergian Zubaidi, Tahiyat baru mengetahui dari Tio bahwa mendiang mempunyai riwayat penyakit sesak napas.
Zubaidi memutuskan tidak memberi tahu sang istri karena tidak ingin keluarga memikirkannya.
“Memang, bapak kalau kecapekan, dadanya suka sakit. Saya sudah ajak, tapi bapak enggak mau berobat. Pokoknya, kalau kecapekan dikit, dadanya sakit, harus minum air putih,” ungkap Tio.
“Ngomongnya sama anaknya, sama saya enggak pernah ngomong,” timpal Tahiyat.
Tio pun tak kuasa menahan tangis saat mengingat Zubaidi yang terlalu bekerja keras sehingga tidak memikirkan kesehatannya.
Meski sudah berusaha menahan air mata, tangis Tio tetap pecah. Ia berkali-kali menyeka air mata dengan punggung tangannya.
“Bapak enggak mau (diperiksa), dia terlalu fokus sama kerjanya. Saya mau anterin, dia enggak mau juga. Maunya dia ya merasakan sendiri. Dia enggak mau kasih tahu teman-temannya,” ujar Tio sambil menangis.
Pekerja keras dan selalu ingat keluarga
Beberapa waktu sebelum meninggal dunia, Zubaidi sempat berpesan kepada Tio agar meneruskan pekerjaannya sebagai petugas PPSU Utan Kayu Utara.
“Dia sudah pesan gitu sih. Bilangnya, 'Nanti gantiin bapak ya jadi PPSU, buat nafkahin ibu, buat urus ibu'. Itu sudah lama (titip pesannya), sudah sering diomongin, 'Entar bantuin bapak ya kalau bapak sudah pensiun',” tutur Tio.
Mengingat usianya mendekati waktu pensiun, Zubaidi bekerja tanpa mengenal waktu dan lelah. Keluhan soal pekerjaan nyaris tak terdengar oleh keluarga.
“Karena dia berpikir masih punya tanggungan, masih ada yang harus dibayar, kebutuhan harus terpenuhi. Jadi, bapak pikirannya ke situ,” ungkap Tahiyat.
Tahiyat menungkapkan, selama menjadi petugas PPSU, Zubaidi hampir tidak pernah mengambil jatah cuti.
“Saya juga bilang, ‘Jangan capek-capek, Pak’. Sekarang kan bapak sudah enggak ada, tapi masih ada cicilan motor, kebutuhan hidup, uang ujian sekolah anak yang bontot juga belum bayar,” ujar Tahiyat.
Kini, jenazah Zubaidi telah dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (14/2/2024).
Di tengah aroma dugaan kecurangan pemilu ini, Zubaidi tutup usia dengan sebuah “label” di makamnya, yakni integritas dan tanggung jawab.
Redaksi Kompas.com turut berbelasungkawa terhadap Tahiyat, Tio, dan keluarga. Semoga, Zubaidi mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/02/16/06053661/selamat-jalan-zubaidi-ppsu-yang-tutup-usia-saat-distribusikan-logistik