Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Sejarah Peranakan Lewat Komik

Kompas.com - 12/12/2008, 10:08 WIB

Mari kita berandai-andai. Andai Kho Wan Gie berumur panjang, maka tahun ini ia berusia 100 tahun. Andai ia masih segar, maka di 100 tahun usianya, ia boleh bernapas lega karena akhirnya buku komik setrip Put On, hasil karyanya, diluncurkan untuk pertama kali. Komik setrip pertama di Indonesia ini pernah rajin terbit sepekan sekali di Harian Sin Po sejak sebelum 7 Februari 1931. Sebelum tahun itu, komik ini muncul tanpa nama.

Komik strip ini sudah banyak yang tercecer. Untungnya masih ada pihak yang peduli untuk mengumpulkannya dalam sebuah buku. Adalah Penerbit  Pustaka Klasik yang memelopori penerbitan buku yang lebih banyak dilirik sebelah mata ini. Tak banyak yang paham bahwa Kho Wan Gie lewat si Put On atau Si Gelisah tak sekadar menggambarkan pria lajang yang tak pernah  tua, tapi lebih dari itu. Komik ini bertutur tentang sejarah, budi pekerti, budaya, sosial, adat istiadat, dan tradisi.

Sebuah foto sosial kehidupan kaum peranakan di Batavia di seputaran akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Dengan gaya yang selengekan, Kho berhasil membuat Put On menjadi ikon kaum peranakan pada masanya.

Budayawan David Kwa melihat Put On sebagai media pembelajaran bagi kaum peranakan masa kini yang sudah banyak melupakan adat istiadat dan tradisi mereka. ”Put On itu memberi banyak pelajaran bagaimana seorang muda harus menghormati orang yang lebih tua, apalagi ibunya. Dari cara Put On menyebut ibu, teman, atau dirinya sendiri, itu juga memperlihatkan adat kaum peranakan. Misalnya, di komik itu enggak ada panggilan encik atau engko karena zaman dulu memang enggak ada,” paparnya.

David juga mengurai arti sapaan, seperti  ”neh” adalah sapaan buat ibu, ”ncek” biasaya untuk memanggil pria yang sebaya dengan ayahnya, ”encim” untuk memanggil istri dari pria yang sebaya dengan ayahnya, ”empek” untuk menyapa orang yang lebih tua. ”Kalau ada yang menyangka ’owe’ itu bahasa Tionghoa totok, itu salah. Owe itu bahasa peranakan. Kalau bahasa totok, Hokkian, itu ’gua’ ‘elu’. Orang peranakan akan menggunakan kata ’owe’ untuk menunjuk diri sendiri, dan Put On menggambarkan itu,” ujarnya.

David tak hanya menyoroti soal sapaan kepada kerabat tapi juga menyorot bagaimana tradisi kaum peranakan seperti tahun baru, cap go meh, dan lainnya masih dilukis dengan jelas oleh Kho Wan Gie.  Semua itu, menurutnya, sudah pupus di masa sekarang. Selain memberi pelajaran budi pekerti, komik tadi juga menggambarkan perjalanan baju encim.

”Ibu si Put On kan selalu pakai kebaya panjang, itu menandakan zaman peranakan yang lebih tua, sekitar tahun 1800-an. Nah, coba perhatikan pakaian istri teman Put On, A Liuk, dia pakai kebaya juga tapi lebih pendek. Itu dari zaman yang lebih modern, 1900-an. Gadis-gadis yang ditemui Put On juga terlihat ada perkembangan dalam hal pakaian dan gaya bahasa,” tutur David kepada Warta Kota.

Bahasa percakapan yang digunakan dalam komik Put On memang sulit dimengerti untuk generasi sekarang. Pasalnya bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Tionghoa di zaman Batavia. ”Memang, sekarang juga masih ada yang menggunakan bahasa itu, campuran bahasa Tionghoa, Belanda, Melayu. Tapi yang jelas komik ini bukan pelipur lara. Ini sebuah komik berisi sejarah budaya kaum peranakan,” tandasnya.

Bersaing                                        
Secara singkat Put On adalah bagian dari sejarah Jakarta, bahkan sejarah Indonesia dari sisi kaum peranakan. Namun nilai itu tampaknya tak lantas menjadikan komik ini mudah bersaing di dunia komik modern yang didominasi komik Jepang yang memadati rak-rak di toko buku besar.

Pada kesempatan lain, Wahyu Wibisana, penyunting naskah Put On ’edisi baru’ ini menyatakan pihaknya tetap optimis komik ini dapat bersaing dengan komik asing.

”Seperti pada awal kemunculannya pada tahun 1930-an, komik ini juga harus berhadapan dengan maraknya komik asing. Kalau pada tahun 1930-an, komik ini harus berhadapan dengan komik Amerika macam Flash Gordon karya Alex Raymond, kini Put On harus berhadapan dengan komik-komik Jepang,” tutur Wahyu. Ia menyatakan, proyek penerbitan ini juga dimaksudkan untuk melestarikan karya Kho Wan Gie yang kebetulan genap 100 tahun pada tahun ini.

Budayawan lain, Arswendo Atmowiloto, menilai fenomena penerbitan kembali komik strip pertama Indonesia ini cukup menarik dan masih akan memiliki nilai jual asalkan tidak hanya mengandalkan toko buku tradisional. Perlu terobosan dalam memasarkan karya ini. ”Kalau perlu dipromosikan oleh Nicholas Saputra sehingga anak muda jadi tertarik,” katanya. (pra)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com